Padahal persoalannya bukan terletak pada sulit atau tidaknya rizki, tapi tinggal bagaimana kita mau atau tidak menjemput rezeki yang telah disediakan tersebut
SALAH satu deretan Ustadz favorit saya selama ini adalah KH. Abdullah Gymnastiar. Bagi saya, tulisan dan ceramah yang disampaikan oleh beliau begitu mengalir ditambah dengan gaya bahasanya yang mudah dicerna oleh semua kalangan.
Suatu malam, usai menyantap makan malam jatah rezeki dari Allah Subhanahu Wata’ala, saya membaca tulisannya yang berjudul Etos Kerja di Majalah Al-Falah (Edisi 264, Rabi`ul Awwal-Rabi`uts Tsani 1431 H/ Maret 2010). Aa` Gym, demikian ia akrab disapa, membagi aktivitas bekerja menjadi dua: pertama bekerja dengan jalan yang halal dan kedua bekerja dengan jalan haram.
Tulisnya, jika seseorang bekerja untuk mencari rezeki yang halal, kemudian rizki tersebut ia belanjakan pada jalan yang halal, maka rizki tersebut akan menjadi jembatan kebahagiaan dan kedamaian hidup di dunia maupun akhirat.
Menurutnya, jika seseorang bekerja mencari nafkah dengan jalan yang haram, didistribusikan untuk hal-hal yang haram pula, maka rizki hasil jerih payah tersebut akan menjadi lumbung kesengsaraan dan kehinaan pada diri dan keluarganya, bahkan menjadi sumber penderitaan dunia dan akhiratnya.
Berbicara mengenai rezeki, saya teringat kisah seorang Sufi besar di masanya, namanya Dzun Nun al-Mishri. Suatu ketika, ia melakukan perenungan di hutan, diiringi seorang murid setianya. Mereka mendapati seekor burung yang tiada daya untuk terbang, karena sayapnya patah. Burung itu hanya bisa menggelepar-gelepar di tanah.
Selang beberapa saat kemudian, datang burung yang lain membawakan makanan baginya. Burung yang patah sayapnya pun, tanpa perlu repot-repot mencari makanan, dapat makan kenyang berkat jasa kawannya.
Menyaksikan kejadian langka itu, si murid termenung dan berpikir keras untuk menggali pelajaran yang dapat dipetik. Ternyata, tanpa harus berusaha mencari makanan sekalipun, kita dapat bertahan hidup berkat jasa orang lain. Alangkah rahmatnya Allah Subhanahu Wata’ala kepada setiap makhluknya, simpulnya.
Sebagai seorang Wali Allah, Dzun Nun al-Mishri bisa merasakan apa yang direnungkan oleh muridnya. Dia pun berkata padanya, “Seharusnya kamu tidak berpikir menjadi burung yang patah sayap itu. Tapi, berpikirlah menjadi burung yang memberi makan, yang dapat menolong saudaranya.”
Dari uraian Aa` Gym dan kisah di atas jika kita renungi dengan mata hati dan pikiran, ada beberapa pelajaran penting yang bisa dipetik.
Pertama, pencari rizki derajatnya jauh lebih tinggi tinimbang penunggu rezeki yang melalui hidup-hidupnya dengan memelas iba dan belas kasihan orang lain.
Kedua, rizki seseorang telah diatur oleh Allah, besar-kecilnya sudah direkapitulasi oleh malaikat pencatat rezeki.Sebagian orang berkata, “Hari gini cari yang haram aja susah apalagi yang halal.”
Padahal persoalannya bukan terletak pada sulit atau tidaknya rizki, tapi tinggal bagaimana kita mau atau tidak menjemput rezeki yang telah disediakan tersebut.
Ketiga, berbagi rizki. Dengan berbagi, berarti kita memiliki kepedulian atas ketimpangan hidup seseorang yang kebetulan kurang beruntung.
Keempat, mencari rezeki tidak boleh menghalalkan segala cara dan upaya, “Yang penting ana dapat fulus hari ini, gak mau tahu caranya,” mungkin demikian sebagian orang berpendapat.
Rezeki dan cara ada dua hal yang saling berkaitan. Rizki yang halal akan berubah haram jika cara memperolehnya dengan melewati jalan yang salah.
Cara mencari rezeki yang salah mengakibatkan keburukan dan ketidaknyamanan hidup. Dulu para istri Salafus Shalih selalu mewanti-wanti suaminya manakala hendak pergi mencari nafkah. Kata istri di masa itu, “Carilah rezeki yang halal. Kami sanggup untuk menahan rasa lapar dan dahaga, namun kami tak sanggup menahana siksa api neraka.”
Jika rezeki kita telah digariskan oleh Allah, maka sekarang waktunya bagi kita untuk berdiri dari kursi kemalasan dan keputusasaan, bangkit mencari rizki sebagai mukmin yang mempunyai kepribadian dan etos kerja yang profesional. Insya Allah, kita akan rezeki kita peroleh sesuai tingkat usaha yang kita lakukan.
Namun, ingat jangan halalkan segala cara untuk memperolehnya. Apalah arti nikmat sesaat jika mendatangkan penyesalan tak terperihkan sepanjang hayat hingga usai wafat. Rasul yang mulia bersabda: Setiap daging yang tumbuh dari barang haram, maka neraka adalah tempat yang layak baginya.
Imam Al-Dzahabi dalam bukunya Al-Kabaair (Dosa-dosa Besar), mengomentari hadits nabi itu, “Perbuatan yang masuk dalam hadits ini: penyamun, pencuri, pengkhianat, pezina, orang yang pura-pura lupa akan hutangnya, orang yang mengurangi takaran, orang yang memungut harta yang tak jelas siapa pemilik sebenarnya lalu ia konsumsi tanpa berusaha mencari siapa pemiliknya, dan orang yang menjual suatu barang cacat yang tak ia kemukakan kecacatannya.”
Satu ingatan kisah lagi tentang Sayyidina Abdurrahman bin Auf r.a., seorang konglomerat kelas kakap di zaman Rasul. Sebelum wafatnya, beliau mewasiatkan 50.000 ribu Dinar untuk diberikan kepada para veteran perang Badar. Masing-masing pahlawan mendapat jatah 400 Dinar (sekitar Rp. 170 juta). Bahkan Sayydina Utsman bin Affan, yang malaikat pun malu kepadanya, turut menerima jatah wasiat sahabatnya itu.
Mengapa menantu Rasulullah yang biasanya pantang menerima pemberian ini bersedia mengambil pensiunan dari Abdurrahman?
Usut punya usut, Sebab, kata Utsman, sungguh harta Abdurrahman halal dan suci. Makan dari hartanya akan menyehatkan dan mendatangkan berkah. Wallahu a`lam bis shawaab.*
Penulis adalah Pengasuh Majlis Taklim Ratibul Haddad, Malang