Wartawan pergerakan, yang tak pernah menyerah meski sempat di penjara beberapa kali
Suara Kaltim – Setelah diusir Belanda dari Kaltim, sekitar tahun 1938, Horas Siregar tidak pulang ke Sumatera Utara. Tapi merantau ke Sulawesi Tengah. Lebih tepatnya ke kota Palu, ibukota propinsi Sulawesi Tengah.Tokoh pers Kaltim “5 zaman”, H Oemar Dachlan mengaku sejak tahun 1938 dirinya tidak pernah bertemu lagi dengan Horas Siregar.
Di Palu, tetap pada jalur perjuangannya. Melawan Belanda melalui tulisan di koran. Dia menerbitkan Surat Kabar Penerangan. Surat kabar Penerangan ini juga sebagai propaganda, membangkitkan semangat dan menyadarkan masyarakat untuk mengajak dan menentang Belanda. Karena Surat kabar Penerangan ini juga tidak berumur panjang, terbit hingga 1940.
Dalam sejarah pers di Sulteng, Horas Siregar disebut-sebut sebagai salah satu pioner dimulainya kehidupan pers di Sulteng. Selain Horas, ada nama lain tokoh pers di Sulteng. Yakni H Moh Arsad Intje Makkah.
Pada sekitar tahun 1935, H Moh Arsad Intje Makkah ini sempat menerbitkan surat kabar Zamroed Palu. Tapi hanya bertahan setahun. Bukan karena dibredel Belanda, tapi lebih kepada karena pembacanya yang diistilahkan “mau baca tapi tidak mau bayar”.
Zamroed Palu tutup, H Moh Arsjad Intje Makkah kemudian membuat surat kabar lagi. Namanya Surat Kabar Penyedar. Tapi juga tidak berumur panjang. Bertahan hingga tahun 1938.
H Moh Arsjad Intje Makkah kemudian bertemu dengan Horas Siregar, seorang anak muda yang berhaluan keras. Anak yang muda yang saat di Kaltim pernah terkena persdelict dan sempat di penjara dua kali di penjara Sukamiskin Bandung, yang ketiga kalinya setelah menetap ke Balikpapan, sebelumnya Horas tinggal di Samarinda. Karena terus-terusan dianggap menganggu Belanda, Horas kemudian diusir dari Kaltim.
Di tahun 1940, Horas Siregar dan H Moh Arsjad Makkah kemudian menerbitkan surat kabar Pedoman Baroe. Seperti gaya tulisan Horas Siregar yang tidak berubah, Pedoman Baroe isinya juga mengecam, mengkritik tajam dan mengutuk keras penjajahan Belanda. Bagi Horas Siregar, Belanda adalah orang asing yang harus diusir dari wilayah Indonesia. Indonesia harus bebas dari penjajahan. Rakyat Indonesia harus bersatu untuk mengusirnya. Tapi sayang, surat kabar Pedoman Baroe juga tutup usia di tahun 1941.
Tidak hanya mengecam Belanda. Horas juga menyerang lewat tulisan, tentara Jepang melalui salah satu tulisannya di surat kabar Pedoman Baroe. Judul tulisannya, yang terbit di tahun 1941 itu : Tentara Jepang Lebih Buas Dari Binatang! Koran itu terbit sebelum tentara Jepang masuk ke Indonesia.
Horas menemui masalah, setelah Jepang masuk ke Indonesia hingga ke Sulteng. Surat kabar Pedoman Baroe, yang berisikan tulisan Horas Siregar ditemukan pemerintahan Jepang di Indonesia. Horas, yang juga menjabat sebagai wakil Pemimpin redaksi dipanggil bersama dengan pimred H Moh Arsjad Intje Makkah. Keduanya ditahan selama empat hari di penjara Maesa. Horas Siregar dan H Moh Arsjad Intje Makkah dibebaskan bersyarat setelah dipaksa menandatangani surat pernyataan kesetiaan kepada pemerintah Jepang.
Kabarnya, Pedoman Baroe, surat kabar pertama di Sulteng yang terbit secara mingguan dengan isi lima halaman tersebut berhenti cetak di tahun 1941, karena kerusakan mesin stensil.
Selama masa pendudukan Jepang hingga 1945, usaha penerbitan surat kabar di Sulteng terhenti. Setelah kemerdekaan, Horas Siregar kembali menunjukkan kegigihannya dalam merintis usaha penerbitan surat kabar. Tiga tahun pasca kemerdekaan atau tahun 1948, Horas Siregar menerbitkan surat kabar Tjahaja yang terbit hanya sampai tahun 1949, karena masalah klasik yang menerpa dunia usaha penerbitan surat kabar di Sulteng sejak zaman kolonial Belanda, yakni ketiadaan mesin cetak dan mesin stensil.
Surat Kabar Tjahaja sendiri menjadi satu-satunya surat kabar di Sulteng yang tercatat dalam buku Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila karya Tribuana Said.
Tahun 1949, Horas Siregar dan H Moh Arsjad Intje Makkah berkolaborasi menerbitkan Soeara Sulawesi Tengah yang bertahan hingga 1950. Soeara Sulawesi Tengah merupakan surat kabar pertama yang menggunakan nama Sulteng, meskipun saat itu Sulteng belum menjadi wilayah provinsi yang berdiri sendiri dan masih bergabung dengan Provinsi Sulawesi.
Soeara Sulawesi Tengah sendiri terbit dengan frekuensi mingguan, dengan jumlah halaman bervariasi antara 10-20 halaman, dengan oplah 100-250 eksemplar.
Meski terbit stensilan, Soeara Sulawesi Tengah menjadi satu-satunya surat kabar yang memuat peristiwa pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949, yang disambut sukacita oleh masyarakat Kota Palu dengan menggelar upacara bendera di lapangan Hombo (sekarang Bundaran Nasional), yang dihadiri sejumlah tokoh, seperti SIS Aldjufri dan Laparendrengi Lamarauna.
Hanya mampu bertahan satu tahun, Soeara Sulawesi Tengah tutup usia pada 1950. Kemudian pada tahun 1952, Horas Siregar menerbitkan surat kabar Sulawesi, yang terbit hingga tahun 1961.
Siapa Horas Siregar?
Horas Siregar sendiri dikenal sebagai salah seorang jurnalis yang enerjik di masanya. Ia diketahui datang ke Palu pada tahun 1937. Anak tunggal Horas Siregar, yakni Silvana Siregar, menyebut sang ayah berasal dari Pargarutan, Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Sebelum pindah ke Palu, Horas Siregar berkecimpung di dunia jurnalistik di daerah Pulau Laut, Kota Baru, Kalimantan Selatan.
Salah seorang tokoh pers di Sulteng, Rusdi Toana menyebut, tajamnya tulisan Horas Siregar yang sering menghantam Pemerintah Kolonial Belanda, membuat Horas dimata-matai pemerintah kolonial. Keadaan ini membuatnya pindah ke Palu untuk menghindari penangkapan oleh pemerintah kolonial.
Tokoh pers Sulteng lainnya, Nungtji H Ali, menyebut sosok Horas Siregar sebagai pribadi yang tekun. Dirinya mengisahkan jika Horas Siregar setelah selesai mencari berita, langsung menuliskannya, lalu kemudian diketik, meskipun harus diketik di atas gerobak. Ketekunan ini juga dilihat dari fakta bahwa Horas Siregar adalah wartawan tunggal di surat kabar Penerangan, yang ia bangun seorang diri.
Horas Siregar sendiri diketahui bermukim di kawasan Kampung Udjuna (kini Kelurahan Ujuna, Kecamatan Palu Barat), tidak jauh dari lokasi Jembatan I Palu atau kini di sekitaran Jalan Gajah Mada. Kediamannya ini juga digunakan sebagai kantor surat kabar mingguan Sulawesi, sebagaimana tercantum dalam halaman depan surat kabar tersebut, sebagaimana terlihat dalam arsip salah satu edisi surat kabar tersebut yang kini disimpan oleh Komunitas Historia Sulawesi tengah (KHST). Tidak banyak informasi yang didapatkan mengenai sampai kapan dirinya menetap di lokasi tersebut.
Horas Siregar dan Kontroversinya Satu hal yang menurut saya cukup kontroversial dari sosok Horas Siregar, selain karena tulisan-tulisannya yang tajam sebagai kritik pada penjajahan, baik di masa Kolonial Belanda maupun pendudukan Jepang, adalah aktivitas politiknya.
Sejarawan Universitas Tadulako, Wilman Darsono Lumangino, mengidentifikasi sosok satu ini sebagai aktivis Partai Sosialis Indonesia (PSI) besutan Sutan Sjahrir. Namun, Wilman juga menemukan indikasi, Horas Siregar merupakan eksponen Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), yang diinisiasi oleh Tan Malaka.
Keterlibatan di PSI dan Murba inilah yang menurut penulis, menjadikan nama Horas Siregar masuk dalam daftar tahanan politik (tapol) yang dikeluarkan oleh pihak militer, dalam hal ini Komando Distrik Militer 1306 Palu.
Namun, penulis belum menemukan fakta, terkait bagaimana nasib Horas Siregar pasca tragedi 1965, apakah tetap bebas berkeliaran, ditangkap kemudian ditahan, seperti yang dialaminya di masa pendudukan Jepang, atau malah mengulangi kisah pelariannya, seperti yang dilakukannya ketika memutuskan hijrah ke Kota Palu tahun 1937?
Satu hal yang pasti, dengan kisahnya merintis usaha penerbitan surat kabar di Sulteng mulai dari masa kolonial hingga masa Orde Lama, serta dengan tipikal sebagai jurnalis pergerakan dengan ketajaman pena yang mengupas kekejaman penjajahan, Horas Siregar pantas didaulat sebagai salah satu tokoh pionir pers di Sulteng.
Horas Siregar Di Kaltim
Sebelum ke Samarinda di bawah tahun 1935, Horas Siregar tinggal di Kota Baru (Pulau Laut) Kalimantan Selatan. Di Kalsel, Horas sudah aktif di kegiatan jurnalistik. Dia menerbitkan surat kabar bernama Panggilan Waktoe. Pangilan Waktoe terbit dua kali sebulan. Di Kalsel surat kabar Panggilan Waktoe ini sempat terbit dan beredar beberapa edisi. Isi berita dan tulisan surat kabar Panggilan Waktoe menyerang pemerintahan Hindia Belanda.
Sekitar tahun 1935, Horas kemudian pindah ke Samarinda. Karena isi Surat Kabar Panggilan Waktoe, yang selalu mengkritik tajam pemerintah Hindia Belanda, maka baru beberapa edisi terbit di Samarinda, Horas Siregarsudah terkena persdelict oleh pemerintahan Hindia Belanda di Samarinda. Berdasarkan Landraad Samarinda, Horas dijatuhi hukuman penjara di Sukamiskin, Bandung.
Selesai menjalani hukuman, Horas kembali ke Samarinda. Horas tidak jera, dia kembali membuat surat kabar Kalimantan Timoer.
Surat kabar Kalimantan Timoer sempat terbit beberapa edisi. Selanjutnya kembali, oleh pemerintahan Hindia Belanda kembali dikenai persdelict. Tulisan yang berjudul :Impian Indonesia Merdeka, dengan nama samaran Dawat Setitik. Nama Dawat Setitik adalah nama samaran Horas Siregar. Dia menggunakan nama samaran, untuk menghindari namanya yang sudah dicatat pemerintah Hindia Belanda, sebagai jurnalis bermasalah dan pernah dipenjara.
Walaupun penulisnya Dawat Setitik, karena Horas pemimpin redaksi dan penanggung jawab surat Kabar Kalimantan Timoer, maka pemerintah Hindia Belanda menghukumnya.
Horas kembali dimasukan penjara Sukamiskin di Bandung oleh pemerintah Hindia Belanda.
Selesai menjalani hukuman, Horas Siregar kembali Kalimantan Timur. Tapi tidak ke Samarinda. Dia tinggal di Balikpapan. Di Balikpapan, Horas tidak menghentikan kegiatan jurnlistiknya. Di menerbitkan surat kabar Warta Oemoen. isi tulisan di Warta Oemoen masih sama : menyerang pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia.
Ketika mengkritik tajam perusahaan minyak Belanda, Bataafssche Petroleum Maatschappi (BPM) sebagai “negara dalam negara”, Horas Siregar kembali dianggap sebagai dikenai persdelict.
Atas desakan BPM, Horas Siregar dijatuhi hukuman : diusir dari wilayah Kaltim.
”Horas Siregar selain dikenal pemberani, juga berhaluan keras. Usianya masih muda saat itu,” kata H Oemar Dachlan.
Oemar Dachlan sendiri, di zaman Pemerintahan Belanda, pernah dua kali menghadapi delik pers dan didenda 75 gulden, yakni saat sebagai Redaktur harian “Pewarta Borneo” pada 1935 dan saat menjadi “Hoofdredacteur” (Pimred) “Pantjaran Berita” (koran nasional) pada 1940.
Sumber Tulisan:
1 | Buku karya Idrus Rore | Dari Zamroed Palu Hingga Mercusuar: Sejarah Pers di Sulawesi Tengah 1935-1995 |
2 | Wawancara dengan Wilman Darsono Lumangino | November 2018 |
3 | Laporan Verifikasi Data Korban 65/66 di Palu, oleh SKP-HAM Sulteng | SKP-HAM Sulteng |
4 | Arsip koran mingguan ‘Sulawesi’ edisi 1 Agustus 1955 | koleksi KHST |
5 | Wawancara dengan H.Oemar Dachlan, tokoh pers Kaltim-wartawan lima zaman (zaman perjuangan melawan Belanda, Jepang, Proklamasi Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru sampai Era Reformasi. | 24 Juni 2001 |
6. | Riwayat Singkat Pers di Kalimantan Timur (Sampai berakhirnya kekuasaan Belanda pada akhir tahun 1949). | Buku H.Oemar Dachlan |
,
Penulis | Akhmad Zailani & Jefriantogie |
Foto | Koran Sulawesi, yang diterbitkan Horas Siregar. sumber Komunitas Historia Sulawesi Tengah |