KALTIM POST VERSUS KALIMANTAN TIMUR

SUATU siang pertengahan Oktober 2001, di sebuah jalan dekat pelabuhan peti kemas Samarinda, Kalimantan Timur, tampak empat karangan bunga terpajang depan sebuah kantor. Kalimatnya berbunyi,” Selamat atas diresmikannya kantor APPKT.” Hidangan apel merah, pisang ambon, jeruk, nasi kotak diletakkan dalam ruang pertemuan –agak mirip acara pengajian. Para undangan duduk bersila di lantai dan ada pembacaan doa.

APPKT kependekan dari Asosiasi Penerbit Pers Kalimantan Timur. Kantor APPKT berada di lantai dua. Lantai bawah dipakai awak redaksi tabloid Investigator yang sekaligus dijadikan markas Aliansi Jurnalis Reformasi Indonesia –sebuah organisasi wartawan lokal.

APPKT dibentuk dari sebuah kongkow-kongkow beberapa orang wartawan di tempat makan kantor Gubernur Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah. Mereka terdiri Suratno Slamet dari tabloid Solidaritas, Hamdani dari tabloid Menara, Redy MZ dari tabloid Alif, Charles Siahaan dari Nunukan News, Untoro Raja Bulan dari Menara, Basori dari Teropong, dan Jalal dari Gema Otonomi. Mereka sepakat membentuk APPKT. Suratno Slamet, pemimpin perusahaan-cum-pemimpin redaksi Solidaritas ditunjuk jadi ketua. Langkah selanjutnya pun berjalan.

Lobi-lobi digencarkan. Hasilnya, pengusaha kayu-cum-aktivis Said Amin, yang juga ketua organisasi semi-militer Pemuda Pancasila, memberikan bantuan. Bekas kantornya, PT Kelawit Wana Lestari, dijadikan sekretariat APPKT. Proposal senilai Rp 50 juta untuk sarana kantor juga ditayangkan APPKT kepada pemerintah daerah. Hasilnya, Gubernur Suwarna setuju membantu Rp 25 juta. “Dana itu untuk keperluan perlengkapan perkantoran,” kata Jalal, bendahara APPKT.

Sebanyak 19 penerbitan lokal berniat mengabungkan diri. Dua majalah dan 17 tabloid. Semuanya berikrar agar pemerintah daerah memberikan subsidi kepada media lokal. Mereka juga minta agar terjadi persaingan yang sehat antar media lokal, sehingga tak ada sama sekali pembelian halaman.

Apa sih yang dijadikan alasan pendirian organisasi ini? Jawabnya ternyata terletak di luar Samarinda. Jawabnya ada di Surabaya, kota kedua terbesar di Indonesia, tempat markas Kelompok Jawa Pos pimpinan pengusaha media Dahlan Iskan.

Sejak Kaltim Post Group, salah satu divisi Jawa Pos, mulai merambah tiap kabupaten dan kota se-Kalimantan Timur, seiring dengan jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998, para penerbit lokal jadi gelisah. Anak-anak harian Kaltim Post bergerak cepat dan menjadi harian Samarinda Pos, Radar Tarakan, Metro Balikpapan, Radar Banjar, Radar Kalteng, dan Radar Sulteng.

Kaltim Post Group juga punya praktek akal-akalan yang agak janggal. Tiap hari mereka menjual halaman suratkabarnya kepada pemerintah daerah, baik pada tingkat propinsi, maupun kabupaten dan kota. Dijualnya ya pakai uang, sehingga layak dianggap sebagai iklan, tapi bentuk tata letak sama dengan berita. Isinya juga berita buatan non-redaksi. “Dana yang digunakan untuk membeli halaman khusus tersebut menggunakan dana APBD, yang jelas-jelas bersumber dari rakyat,” kata Suratno, mengacu pada praktek jual-beli halaman itu.

Suratno mencontohkan, pemerintah propinsi Kalimantan Timur, melalui kantor hubungan masyarakatnya membeli satu halaman Kaltim Post setiap hari dengan kontrak harga Rp 1,5 miliar per tahun. Kabupaten Kutai Timur membeli tiap hari dengan harga Rp 800 juta per tahun. Kabupaten lainnya berkisar Rp 300-500 juta per tahun untuk setengah halaman. Hanya Kaltim Post yang punya cara berjualan halaman suratkabar dengan cara begini. Harian lainnya, baik di Jakarta maupun di Kalimantan Timur, macam Swara Kaltim, Poskota, dan Kaltim Times, tidak seperdelapan halaman pun yang dibeli pemerintah.

Sejak awal tahun ini, cara dagang Kaltim Post ini jadi perbincangan hangat kalangan penerbitan lokal lainnya. Mereka menilai, praktek ini tak profesional, mencampur aduk antara berita dengan iklan, menipu publik, dan melacurkan independensi Kaltim Post. Mereka juga curiga Kaltim Post melakukan pemaksaan terhadap pejabat terkait apabila tak membeli halaman yang ditawarkan. Dampaknya, media dari Kaltim Post Groug jarang memberitakan penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan yang melibatkan pejabat daerah pemasang iklan. Kebanyakan yang diberitakan adalah kebijakan pembangunan yang positif, sedangkan ketimpangan tak pernah termuat (kepala hubungan masyarakat Kalimantan Timur Haji Elto membantah adanya jual beli).

“Masa ada media yang beritanya dibuat oleh orang-orang Humas? Buat apa ada wartawannya? Katanya media besar dan professional? Nulis berita saja harus oleh orang Humas yang tidak punya latar belakang jurnalistiknya,” kata Untoro Raja Bulan dari tabloid Menara.

Wakil ketua DPRD Kalimantan Timur Kasyful Anwar, yang juga penasehat APPKT, berpendapat tak apa media bekerja sama dengan pejabat daerah, asal bisa tetap berimbang memberitakan kejanggalan atau memberitakan persoalan yang terjadi di daerah tersebut. Pers harus tetap menjadi alat kontrol dan informasi bagi masyarakat. “Jangan mentang-mentang punya satu halaman, terus yang diberitakan hal yang baik-baik dan bagus-bagus tentang daerah itu,” katanya.

Kalau memang boleh berjualan halaman, bagaimana dengan media lokal? Kasyful mengatakan kalangan legislatif pernah membicarakan persoalan ini kepada eksekutif agar media lokal didata dan diberikan subsidi. “Nanti akan kita bicarakan solusinya. Tapi bantuan itu tidak penuh.” Rencana itu tinggal rencana. Bagaimana pun dari sisi eksekutif beriklan di harian Kaltim Post lebih efektif ketimbang di media kecil yang tak jelas pengaruhnya. Sirkulasi Kaltim Post sekitar 28 ribu.

Rizal Effendi, pemimpin redaksi Kaltim Post, mengatakan Kaltim Post tak berupaya mematikan media lokal. Penjualan halaman itu dilakukan berdasarkan kebutuhan dari beberapa daerah untuk mempromosikan potensi masing-masing. “Tidak (ada) tekanan yang kami lakukan kepada pejabat daerah untuk membeli halaman di Kaltim Post. Jangan nilai hal itu adalah bentuk monopoli. Media lokal silahkan saja melakukan hal yang sama, dan kami tidak pernah menghalanginya.”

Bagaimana dengan campur aduk iklan dan berita? Rizal berbual-bual mengatakan cara penjualan halaman pada bisnis suratkabar memang baru ini terjadi sehingga “terkesan” melakukan penyimpangan dan tak lagi independen. Namun, Kaltim Post tidak terpengaruh dengan adanya iklan berbentuk berita itu. Cara mengatasinya, mereka menempatkan berita yang dibuat wartawan di halaman tertentu, sedang berita buatan humas, di halaman lainnya. “Biar bagaimana pun, semuanya diserahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk memberikan penilaian kepada Kaltim Post. Pembaca menilai jelek, pasti Kaltim Post akan ditinggalkan,” katanya.

Susahnya, praktek dagang ala Kaltim Post Group ini, yang mencampur-adukkan berita dengan iklan, dilawan media lokal cara pandang yang sama. APPKT juga ingin bekerja sama dengan pemerintah –termasuk pembelian iklan bahkan untuk membeli televisi, radio compo, alat pendingin, dan alat-alat kantor lainnya—sehingga gugatan independensi bisa diarahkan pada media mereka juga. Mereka juga sama-sama ingin menjual halamannya kepada pemerintah. Setali tiga uang. suarakaltim.com/Rusman
Sun, 6 January 2002/majalah Pantau/foto :kaltimpost)