Dengan raut wajah tegang dan suara yang meninggi, pemilik bank protes kepada Darmin Nasution, kala itu menjabat sebagai gubernur BI. Bahkan, tangan sang pemilik bank sempat dibentur-benturkan ke meja, tanda marah besar.
Darmin yang dikenal memiliki temperamen yang meledak-ledak apalagi ketika ditantang, kala itu justru bergeming. Usai pertemuan, ia langsung berjalan menuju ruang kerja. Kondisinya tetap sama, Darmin masih terdiam.
Nanang, staf Darmin, lantas bertanya, “Kenapa Bapak diam saja saat pemilik bank berbicara dengan nada tinggi?” Darmin menjawab singkat “Hari ini, saya baru saja kehilangan seorang sahabat,” katanya dikutip dari Bambang Arianto dkk dalam Darmin Nasution: Bank Sentral itu Harus Membumi (2013:106)
Posisi sebagai orang nomor satu di bank sentral memang kerap menempatkan Darmin pada kondisi sulit, terutama ketika menghadapi kasus-kasus tindak kejahatan perbankan. Tentunya, sikap tegas harus tetap dipegang, meskipun kepada sahabatnya sendiri. Apalagi, perbankan adalah bisnis yang mengutamakan pelayanan dan kepercayaan. Bila ada bank yang melanggar ketentuan, harus mendapatkan sanksi tegas guna menjaga kepercayaan.
Darmin memberikan sanksi kepada bank milik sahabatnya itu, lantaran lalai dalam menerapkan manajemen risiko sehingga menyebabkan dana deposito nasabah bernilai miliaran rupiah dibobol oleh kepala cabang bank.
Kasus pembobolan bank di Indonesia memang bukan hal yang baru. Tindakan kriminal yang dikategorikan kejahatan kerah putih atau white collar crime ini memang sangat meresahkan nasabah. Menurut Hazel Croall, mantan profesor kriminologi di Glasgow Caledonian University, Skotlandia, mengatakan kriteria white collar crime antara lain tidak kasat mata, ketidakjelasan pertanggungjawaban, aturan hukum samar-samar, korbannya kurang jelas, sulit untuk dideteksi dan dituntut, serta sangat kompleks.
Modus pembobolan bank sangat beragam. Namun, kebanyakan kasus tersebut seringkali melibatkan orang dalam. Tanpa ada kerjasama dengan pihak bank, dipastikan sulit untuk membobol bank. Apalagi, bila sistem kontrol berjalan dengan baik.
“Mendapatkan kredit bank misalnya, itu prosesnya kan sangat rumit. Kalau orang-orang bank menjalankan tugasnya secara proper, sebenarnya bisa ketahuan bohong-bohongnya nasabah,” kata pengacara anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Andi Fanano Simangunsong kepada Tirto.
Contoh kasus pembobolan yang melibatkan orang dalam bank adalah pembobolan dana PT Elnusa Tbk senilai Rp111 miliar pada 2011, yang dititipkan di Bank Mega KCP Jababeka, Bekasi dengan cara memalsukan tanda tangan.
Dari kasus itu, Pengadilan Tipikor Bandung menjatuhi hukuman kepada Itman Harry Basuki, mantan kepala KCP Bank Mega Jababeka Cikarang dengan kurungan enam tahun penjara, denda Rp300 juta serta uang pengganti Rp1,2 miliar subsider 1 tahun penjara.
Kasus pembobolan bank juga pernah terjadi pada bank milik negara (BUMN), yakni Bank Mandiri pada 2015. Bank yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) ini juga terkena kasus pembobolan bank senilai Rp1,5 triliun yang melibatkan orang dalam.
Kejaksaan Agung sudah menetapkan tiga tersangka dari pegawai bank pelat merah tersebut, yakni Komersial Banking Manajer Surya Baruna Semenguk, Relationship Manager Frans Eduard Zandra, dan Senior Kredit Risk Manajer Teguh Kartika Wibowo. Selain itu, tersangka dari luar bank adalah Direktur PT Tirta Amarta Bottling Rony Tedy. Namun, tidak menutup kemungkinan Kejaksaan Agung akan menetapkan tersangka baru lainnya dari kasus tersebut. Bahkan, Kejaksaan Agung tengah membidik para petinggi Bank Mandiri.
Tirto mencoba meminta tanggapan ihwal kasus ini, dengan menghubungi Sekretaris Perusahaan PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) Rohan Hafas, melalui pesan singkat maupun panggilan telepon. Sayang, Rohan Hafas tidak merespons.
Kenapa pembobolan atau manipulasi kredit oleh orang dalam bisa terjadi di perbankan?
Proses bisnis yang dilakukan perbankan selama ini, antara lain proses penilaian, pengecekan dokumen fisik, pencairan kredit dan lain sebagainya memang tidak bisa seluruhnya dilakukan secara sistem (by system).
Menurut Andi Fanano Simangunsong, masih banyak proses yang bergantung dari diskresi—kebebasan mengambil keputusan—dari orang-orang yang menempati posisi-posisi tertentu di bank. Artinya, segala sesuatu yang melibatkan orang, menjadi rawan penyimpangan.
Kasus pembobolan bank ini sangat tergantung dari integritas orang-orang bank atau bankir, dan kelihaian nasabah dalam mengajak orang bank untuk berkolaborasi membobol bank. Potensi kasus pembobolan bank masih berpeluang terjadi di masa depan.
Tindak Pidana Perbankan Meningkat
Keterlibatan orang dalam (bank) pada kasus pembobolan bank yang masuk dalam tindak pidana perbankan juga diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Berdasarkan Laporan Tahunan OJK, disebutkan tindak pidana perbankan umumnya bersumber dari internal bank, seperti kelemahan pengawasan internal, kurangnya integritas pegawai, dan kelemahan sistem bank.
Sehingga perlu peningkatan pengawasan manajemen bank melalui pelaksanaan independent review oleh Satuan Kerja Audit Intern (SKAI), mengkaji ulang kebijakan internal, serta pengamanan teknologi informasi, dan infrastruktur pendukungnya.
Berdasarkan data OJK, tren jumlah pelaku yang berbuat tindak pidana perbankan meningkat sepanjang 2017. Pada kuartal I-2017, OJK mencatat jumlah pelaku bertambah 5 orang. Pada kuartal II, jumlah pelaku bertambah 10 orang. Pada kuartal III-2017 sebanyak 10 orang, dan kuartal IV-2017 bertambah 41 orang. Total rekam jejak tindak pidana perbankan sepanjang 2017 mencapai 66 orang.
Dari total itu, pelaku dari nonpejabat eksekutif bank mencapai 77 persen, atau sebanyak 51 orang. Disusul, direksi bank sebanyak 7 orang, pejabat eksekutif bank 4 orang, kepala kantor cabang 2 orang, komisaris 1 orang, dan pemegang saham 1 orang.
OJK juga menginvestigasi jumlah kasus penyimpangan ketentuan perbankan (PKP) sepanjang 2017 mencapai 22 kasus. Pada saat yang sama, jumlah kantor bank yang diinvestigasi OJK mencapai 12 bank.
Apa antisipasinya?
OJK merilis Buku Memahami dan Menghindari Tindak Pidana Perbankan, salah satu cara pencegahan tindak pidana perbankan tergantung dari jenis tindak pidananya. Contoh, tindak pidana yang berkaitan dengan kegiatan usaha bank. Kasusnya adalah petugas bank tidak melakukan pencatatan terhadap transaksi nasabah.
Untuk mencegah ini, OJK memberikan tips bagi nasabah maupun bank. Untuk nasabah misalnya, lakukan pengecekan terhadap detail transaksi pada rekening koran nasabah dan dokumen bank. Lalu, aktifkan juga fitur SMS banking untuk pengecekan setiap mutasi di rekening.
Bagi bank, tingkatkan pengawasan dan supervisi dari atasan guna menutup celah oknum yang tidak bertanggungjawab. Kontrol yang ketat terhadap setiap transaksi juga harus dilakukan, perhatikan gaya hidup pegawai bank yang ada apakah di luar kewajaran.
Contoh kasus lainnya, pegawai bank menerima dana dari nasabah. Tips dari OJK adalah lakukan sosialisasi secara berkesinambungan tentang tindak pidana bank kepada semua golongan pegawai. Selain itu, tingkatkan sistem pengendalian intern bank dengan melakukan review secara periodik dan terus menerus, dan program whistle blowing system (WBS) jika mengetahui ada pelanggaran ketentuan yang berlaku.
Pembobolan bank yang melibatkan orang dalam tentu merugikan nasabah dan merusak kepercayaan industri perbankan. Apalagi pembobolan bank tak hanya dilakukan oleh orang dalam, di luar sana para penjahat dengan teknologi mengincar dengan berbagai cara termasuk pembobolan dana nasabah via ATM yang biasa memakai modus skimming dan modus lainnya. Baru-baru ini kasus skimming menimpa nasabah BRI.
Pembobolan dana di bank oleh pelaku orang dalam maupun pihak luar, masih jadi pekerjaan rumah otoritas perbankan dan para bankir di Indonesia.