PEMILU curang sebenarnya bukan barang baru. Di masa Romawi Kuno, Julis Caesar menoreh sejarah melakukan kecurangan pemilu untuk menduduki posisi kepala administrasi pemerintah pada tahun ke 60 Sebelum Masehi.
Konstitusi Republik Romawi pada era itu memang cukup kompleks. Penguasa tidak bisa semena-mena memainkan kekuasaan karena sistem politik menjamin adanya check and balance sehingga penguasa tidak bisa main-main apalagi berkuasa selama-lamanya.
Untuk mendapatkan posisi itu, Caesar menghitung dengan cerdik bagaimana mengalahkan Marcus Bibilus-lawannya- dengan cara yang tampak konstitusional.
Mengakali hal ini, Caesar bersekutu secara diam-diam dengan Pompei, politisi dan jenderal militer muda yang mempunyai network cukup luas serta berasal dari keluarga politisi kaya-raya dari provinsi Italia. Persekutuan mereka semakin kokoh ketika Caesar menggandeng Marcus Crassus, pengusaha tuan tanah kaya yang dijadikan mesin uang Caesar untuk membiayai kampanye Caesar.
Persekongkolan mereka kemudian dikenal dengan nama the First Triumvirate. Tak langgeng memang, tapi persekutuan ini nyaris sempurna, yakni gabungan politisi yang haus kekuasaan, militer dan pengusaha tuan tanah yang kaya. Mereka menggunakan segala rupa strategi, manipulasi dan suap untuk mengalahkan Marcus Bibilus sehingga mampu mengantarkan Julis Caesar menduduki posisi tertinggi di Republik Romawi.
Cerita soal kecurangan pemilu memang gurih dan ternyata tak pernah berhenti. Praktik ini tak juga mereda di era modern. Pemilu di Kongo December 2018, termasuk berwarna. Meskipun bukti kecurangan cukup kuat diajukan ke pengadilan, hasilnya bisa ditebak, rakyat harus menelan kepahitan menerima Felix Tshisekedi sebagai presiden.
Meskipun ragu dengan hasil pemilu, Amerika dan Uni Eropa serta negara-negara lainpun antre berlomba mengucapkan selamat menyatakan Felix sebagai ‘pemersatu’ rakyat Kongo yang akan menghadirkan ‘kestabilan’. Prioritas negara-negara maju itu tampaknya bukan pada apa yang menjadi keinginan rakyat di bilik suara, tapi lebih pada ‘kestabilan’ kawasan sehingga kepentingan mereka terjaga.
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa tak mau ketinggalan, menyerukan rakyat Kongo untuk menerima hasil pengadilan agar konsolidasi demokrasi dapat dilakukan. Konsolidasi? Bagaimana rakyat Kongo bisa terlibat dalam konsolidasi demokrasi ketika pemilu dilaksanakan dengan penuh kecurangan? Pertanyaannya adalah masih adakah demokrasi bagi rakyat Kongo untuk melakukan konsolidasi?
Lantas masih perlukan pemilu dilaksanakan bila hasilnya demikian? Mari kita lihat hasil the World Values Survei periode 2010-2014. Kurang dari separuh responden (41,5%) menyatakan setuju pemilu penting bagi sistem demokrasi. Hasil ini menurun 7% dari putaran sebelumnya.
Survei yang dilakukan dalam putaran 2005-2009 mencatat hasil yang lebih baik yakni 52,3%.
Sheema Syah, pemerhati pemilu dunia, menilai pemilu tampaknya mulai kedodoran hilang sinarnya. Kenapa? Padahal sudah jelas, pemilu adalah satu-satunya platform paling demokrasi untuk memilih pemimpin dimana rakyat biasa-biasa tiba-tiba mempunyai ‘power’ di bilik suara? Tapi benarkah ‘power’ itu dimiliki rakyat?
Syah tidak terlalu kaget dengan hasil survei tersebut sebab menurut analisanya pemilu di seluruh dunia kini sudah mulai kehilangan makna. Seiring dengan perjalanan waktu, elite menggunakan posisi dan kekuasaaanya secara perlahan menjauhkan rakyat dengan proses pemilu itu sendiri. Walhasil pemilu tak lebih dari uang dan strategi elite untuk menentukan siapa yang terpilih.
Persis strategi yang dimainkan oleh Julis Cesar dalam meraih kekuasaan. Menelikung prinsip demokrasi di Republik Romawi, dan rakyat pun tak lagi punya ‘power’ dalam bilik suara.
Dalam konteks di Indonesia, perdebatan tentang pemilu curang tak jauh beda dengan apa yang terjadi di Republik Kongo. Narasi rekonsiliasi ditebar para elite untuk mengedepankan persatuan, akan tetapi mengecilkan persoalan riil yang melukai rakyat Indonesia, yakni kecurangan TSM.
Lantas masih adakah demokrasi yang tersisa, bila pemilu kemudian hanya menjadi ajang kontestasi elite untuk meraih kekuasaan dan sumber daya. Kehadiran rakyat dibutuhkan untuk mengisi perolehan suara mendapatkan kursi. Maka memang pemilu tak lebih hanya sebuah kepalsuan demokrasi.
*jelang keputusan MK 27 Juni 2019
Penulis: Dia Islamiati Fatwa [sumber]