Ketika Rasulullah Mencium Tangan Tukang Batu

Jumat, 8 Maret 2019 | 6:49 am | 389 Views |
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Rasulullah menggenggam tangan tukang batu itu, dan menciumnya seraya bersabda, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya.”

DIKISAHKAN oleh Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin pada Bab Keutamaan Bekerja dan Mencari Penghidupan tentang dialog Nabi Isa ‘alayhissalam dengan seseorang.

Nabi Isa bertanya, “Apa pekerjaanmu?” Lelaki itu menjawab, “Aku hanya beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala saja.”

Nabi Isa bertanya kembali, “Siapa yang menanggung kebutuhan hidupmu sehari-hari?”

Lelaki itu menjawab, “Saudaraku.”

Nabi Isa pun bersabda, “Saudaramu itu lebih banyak ibadahnya dalam penilaian Allah Ta’ala daripada apa yang sudah kamu lakukan.”

Demikianlah Islam memberikan panduan bagi kita mengisi kehidupan ini. Allah sama sekali tidak memandang rendah orang yang bekerja, mencari kebutuhan sehari-hari bagi keluarga, daripada mereka yang hanya sibuk beribadah tanpa memikirkan kehidupan dunia.

Kisah di atas juga menyiratkan satu pelajaran bahwa umat Islam mesti seimbang di dalam memandang kehidupan. Ibadah yang dilakukan hendaknya tak membuat kita malas bekerja, sehingga hidup tergantung kepada orang lain. Allah justru mencintai orang yang bekerja untuk mencegah dirinya tergantung kepada orang lain, apalagi sampai hidup dengan meminta-minta.

Jadi, bekerja dengan niat yang benar untuk menjaga kemuliaan diri dan keluarga adalah ibadah yang tidak saja baik, bahkan terkategori mulia dan mendapatkan banyak janji kebaikan dari Allah Ta’ala seperti orang-orang yang berjihad di jalan-Nya.

Al-Ghazali kembali menyajikan sebuah kisah dalam kitab monumentalnya itu, Ihya Ulumuddin.

“Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam duduk bersama para Sahabat di masjid Nabawai, Madinah. Seorang pemuda yang kuat dan kekar terlihat melintas di dekat masjid untuk pergi berdagang. Lalu di antara para Sahabat ada yang berkata, ‘Alangkah mulianya pemuda itu jika masa mudanya yang kuat dan sehat digunakannya untuk berjihad di jalan Allah Subhanahu Wata’la.’

Mendengar itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Janganlah kalian mengatakan seperti itu. Sebab jika pemuda tadi berusaha dengan maksud melepaskan diri dari ketergantungan kepada orang lain, dan untuk tujuan menghindarkan diri dari meminta-minta, maka ia telah berjihad di jalan Allah Subhanahu Wata’ala. Dan jika ia berusaha untuk menghidupi kedua orangtua dan anak-anaknya yang lemah, maka ia juga telah dianggap sebagai berjihad di jalan Allah Subhanahu Wata’ala. Namun, jika usaha dagang yang ia lakukan hanya untuk memperlihatkan kekuatan demi kebanggaaan atas dirinya sendiri, maka ia berada di jalan setan yang tersesat.” (HR. Thabrani).

Dalil tersebut memberikan penjelasan gamblang kepada kita mengapa Khalifah Abu Bakar, sekalipun telah menjadi pemimpin besar, namun tetap memilih berdagang, meski akhirnya diatur sedemikian rupa agar dapat fokus mengurusi umat.

Demikian pula dengan Salman Al-Farisi, yang tetap berdagang sekalipun telah menjadi seorang gubernur. Menariknya, hal itu dilakukan bukan karena tak puas dengan gaji sebagai pemimpin. Melainkan untuk mendapatkan kemuliaan dari Allah dengan bekerja. Hal ini bisa dilihat, saat wafat, Salman ternyata meninggalkan pakaian dengan banyak sekali tambalan.

Oleh karena itu, mari jauhi kemalasan di dalam diri. Jangan pernah merasa terlalu tua untuk bekerja. Jangan pula merasa masih muda untuk mengambil tanggung jawab dengan bekerja. Muda atau tua, jika memiliki niat dan tujuan bekerja yang benar, Insya Allah akan mendapatkan banyak kemuliaan dari sisi Allah Ta’ala.

Bekerjalah penuh semangat, bekerjalah penuh harapan, dan bekerjalah untuk memberikan arti bagi kehidupan. Tak peduli panas atau hujan, semangat bekerja harus terus menyala dan berkobar di dalam jiwa. Kemudian dapatilah kebahagiaan sejati dunia-akhirat.

Lantas, bagaimana jika pekerjaan yang digeluti tidak bergengsi di tengah-tengah masyarakat? Tetaplah bekerja dengan semangat dan kesungguhan, sejauh itu halal dan dilakukan dengan niat yang benar lagi ikhlas, maka insya Allah kemuliaan akan Allah berikan.

Suatu waktu, saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam datang dari Tabuk, peperangan dengan bangsa Romawi yang kerap menebar ancaman pada kaum Muslimin. Banyak Sahabat yang ikut beserta Nabi dalam peperangan ini. Tidak ada yang tertinggal kecuali orang-orang yang berhalangan dan ada uzur.

Saat mendekati kota Madinah, di salah satu sudut jalan, Rasulullah berjumpa dengan seorang tukang batu. Ketika itu Rasulullah melihat tangan buruh tukang batu tersebut melepuh, kulitnya merah kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari.

Rasulullah pun bertanya, “Kenapa tanganmu kasar sekali?”

Lelaki yang bekerja sebagai tukang batu itu menjawab, “Ya Rasulullah, pekerjaan saya ini membelah batu setiap hari, dan belahan batu itu saya jual ke pasar. Lalu hasilnya saya gunakan untuk memberi nafkah keluarga saya. Karena itulah tangan saya kasar.”

Mendengar jawaban itu, Rasulullah menggenggam tangan orang itu, dan menciumnya seraya bersabda, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya.”

 

Dengan kata lain, kemuliaan di sisi Allah tidak ditentukan oleh jenis pekerjaan seseorang. Tetapi, apakah pekerjaan itu halal, dilakukan dengan niat yang benar lagi ikhlas. Di sini kita mesti memahami bahwa sesungguhnya keberkahan dan kemuliaan seseorang di sisi Allah Ta’ala sama sekali tidak bisa ditentukan oleh jenis pekerjaan seseorang. Apakah ia profesor atau tukang cor. Apakah ia direktur atau tukang plitur. Maka, tidak ada kata lain selama hidup di dunia ini, mari bekerja dengan penuh semangat dan antusiasme tinggi.

Tetapi ingat, bekerja bukan untuk membangga-banggakan diri atas orang lain. Bekerja bukan untuk berlomba menumpuk kekayaan. Sebab jika itu menjadi motivasi diri, Rasulullah menjelaskan keadaan demikian adalah kesesatan.

Maka, perhatikanlah bagaimana mereka yang bekerja siang malam, lupa ibadah, dan hanya mementingkan diri sendiri. Allahu a’lam./* Imam Nawawi/Hidayatullah

 

BACA PULA :