Kisah Caleg Modal Dengkul Menggantang Asa ke Senayan

 
 

“Saya ini caleg modal dengkul, dan dengkul yang saya pakai itu pun dengkul relawan,” ungkapnya.

www.suarakaltim.com – Banyak orang berharap pemilu bisa mengubah takdir bangsa. Tapi bagi caleg yang bermodal cekak, tujuan kontestasi politik itu tak muluk, cuma palagan untuk mengubah nasib mereka sendiri.

SETIAP menyeruput kopi dari cangkir yang tergeletak di meja, Supri semakin bersemangat bercerita tentang pengalaman spiritual dan perjalanan hidupnya. Salah satunya, mimpi aneh pada suatu malam tahun lalu yang mampu mengubah jalan hidupnya.

Jalan cerita mimpinya dimulai pada fragmen Supri sedang berkendara di tengah Kota Jakarta bersama sang istri.

Mobil yang dikemudikan istrinya melaju sangat kencang, dan tiba-tiba kecelakaan. Mobil terpelanting dan tersangkut di atas jembatan penyeberangan orang.

“Nah dalam mimpi itu, sewaktu mobil tersangkut, saya melihat ke samping bawah dari jendela. Di samping bawah itu saya melihat gedung kura-kura (DPR-MPR),” kata Supri menceritakan mimpinya kepada Suara.com, pekan lalu.

Dalam keyakinannya, setiap mimpi punya arti penting. Mimpi adalah wangsit atau ilham yang harus ditafsir, agar siap sebagai petunjuk dalam kehidupan nyata.

Begitulah Supri, yang menggemari laku spiritual keagamaan maupun mempelajari ilmu hakikat.

Karenanya, ia menceritakan mimpi itu ke rekan-rekan seperguruan spiritualnya, untuk mencari tahu takwilnya.

Dalam tafsir teman seperguruannya, mimpi Supri adalah petunjuk agar dia menjadi caleg untuk DPR RI .

“Teman saya menafsirkan, kamu harus nyaleg. Saya katakan, saya enggak punya duit, bagaimana caranya mau nyaleg. Teman saya bilang, yang penting daftar jadi caleg saja dulu, nanti ada jalannya,” ucapnya.

Maka berangkatlah Supri tanpa uang sepeser pun mendaftar sebagai caleg, di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

“Saya ini caleg modal dengkul,” tukasnya.

***

Supriatno nama lengkapnya. Ia calon anggota legislatif nomor urut 5 dari PKB untuk DPR RI. Dia ditempatkan di Dapil 4 Jawa Barat, yakni Kota Madya dan Kabupaten Sukabumi.

Lelaki berusia 45 tahun ini adalah caleg yang tak punya modal finansial yang cukup alias modal dengkul.

Supri hanya mengandalkan sejumput kiprahnya dalam pergerakan mahasiswa dan faktor keluarga.

Dulu, sebelum resmi menggondol gelar Sarjana Teknik dari Universitas Negeri Jakarta, Supri dikenal sebagai aktivis mahasiswa.

Tidak main-main, tahun 1997, Supri pernah menjabat sebagai Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Jakarta Timur. PMII merupakan organisasi kemahasiswaan yang progresif pada zamannya.

Supri juga terlibat dalam aksi demonstrasi mahasiswa 1998, yang melengserkan Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan.

Selepas kuliah, Supri tak berminat meneruskan kiprahnya dalam dunia pergerakan politik. Ia memilih untuk hidup biasa-biasa saja: menikahi seorang perempuan terkasih, memunyai anak yang lucu-lucu, membangun rumah, dan mengurus usaha sendiri.

Ia menghabiskan masa-masa indahnya bersama keluarga sembari membuat usaha sendiri di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Tujuh tahun ia di sana, sejak 2011 sampai 2018. Selama itu pula Supri membuka usaha restoran dan penginapan di Simbalun, Lombok Utara, tepatnya di kaki gunung Rinjani.

Namun, seluruh mimpinya membangun rumah tangga yang bahagia bersama seluruh usahanya kandas karena bencana gempa bumi pada akhir Juli tahun lalu.

Gempa berkekuatan 6,4 magnitudo itu meluluhlantakkan rumah-rumah warga di wilayah Lombok Utara, termasuk restoran dan penginapan miliknya.

Ketika Lombok tak lagi menyisakan asa buat kehidupannya, Supri bersama anak-anak dan istri memutuskan hijrah ke Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat.

Kampung halamannya di barat Pulau Jawa juga ternyata tak menjanjikan apa pun. Supri semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga.

Ia tak memunyai pekerjaan yang tetap. Tebersit ide dalam benaknya untuk kembali membangun usaha sendiri.

Agar memunyai modal, Supri menemui beberapa kolega dan teman-teman lamanya di Jakarta untuk mencari bantuan pendanaan, tapi dalam perjalanannya tidak mulus.

Di tengah keputus-asaan itu, Supri memutuskan untuk menjadi caleg gara-gara mimpi yang ditafsirkan teman seperguruannya.

Bermodal kenekatan, Supri memberanikan diri melamar pekerjaan sebagai caleg DPR RI ke PKB. Ia punya banyak teman di partai besutan kaum Nahdliyin itu.

Meski punya beberapa teman di PKB, jalannya untuk mendaftar jadi caleg bukannya tanpa rintangan.

Awalnya, Supri mendaftar ke PKB untuk maju dari Dapil NTB. Namun di tengah jalan, namanya dicoret.

Setelah keras berpikir, muncullah ide untuk ganti daerah pemilihan. Ia lantas mendaftar lagi sebagai caleg PKB untuk Dapil IV, Kota Madya dan Kabupaten Sukabumi.

Ia percaya diri maju dari dapil ini karena kampung halamannya. Supri sangat yakin bisa memperoleh banyak dukungan dari Dapil IV.

Sebab, Supri memiliki keluarga besar dan banyak kerabat di wilayah itu, meski tak punya cukup modal finansial untuk biaya kampanye, apalagi untuk membeli suara dari konstituen alias politik uang.

“Saya modal dengkul, dan dengkul yang saya pakai itu pun dengkul relawan,” ungkapnya.

Supriatno [Suara.com/Erick Tanjung]
Supriatno [Suara.com/Erick Tanjung]

Paraji Bernama Mak Haji Jawa

Saat mendaftar ke PKB, Supri mengakui tak membayar mahar politik. Karena itu pula dirinya legawa saat namanya dicoret dari daftar bacaleg dari dapil NTB.

Tapi, suatu hari setelah pencoretan itu, salah satu petinggi DPP PKB menelepon dan meminta untuk datang ke Hotel Acacia, Jakarta Pusat, tempat pembekalan caleg.

Supri yang menginap tak jauh dari hotel itu langsung datang. Ia mengakui saat itu tak punya uang untuk membayar biaya pendaftaran acara pembekalan.

Biaya mengikuti acara pembekalan plus menginap selama dua hari di hotel itu adalah Rp 2 juta.

Tapi karena si penelepon tadi, setibanya di hotel, Supri  langsung diarahkan panitia untuk ke ruangan khusus caleg yang mendapat rekomendasi, sehingga tidak membayar.

“Jujur, ketika itu tidak ada uang sebanyak itu di saku saya. Tapi proses saya daftar saat itu berjalan lancar tanpa mengeluarkan uang. Satu sen pun saya enggak bayar mahar politik di PKB,” tutur dia.

Untuk menambal kekurangan uang itu, Supri mengakui memunyai modal sosial yang cukup besar, yaitu ketokohan neneknya di Pelabuhan Ratu.

Neneknya semasa hidup terkenal di wilayah Kabupaten Sukabumi, khususnya Pelabuhan Ratu. Sang nenek adalah paraji atau dukun beranak yang populer dengan nama Mak Haji Jawa.

Selain sebagai dukun beranak, nenek Supri juga orang yang dipercaya untuk memandikan jenazah. 

“Almarhum nenek saya paraji atau dukun beranak yang terkenal ketokohannya di Pelabuhan Ratu. Beliau dikenal suka membantu orang tanpa pamrih di kampung. Jadi orang Pelabuhan Ratu sudah mengenal saya sebagai cucunya Mak Haji Jawa,” ujarnya.

Sejak neneknya tiada, kini profesi dukun beranak itu dilanjutkan oleh bibinya. Selain itu, Supri juga banyak mendapat dukungan dari para nelayan di Pelabuhan Ratu.

Sebab, bapaknya berprofesi sebagai nelayan dan penjual ikan asin. Begitu pula keluarga besar Supri, banyak yang bekerja sebagai nelayan.

Jadi, relawan yang bekerja mengampanyekan Supri adalah keluarga besar, kerabat, dan teman-temannya.

“Selain kekuatan jaringan primordial, saya juga punya jaringan aktivis PMII di Sukabumi. Mereka yang membantu saya di dapil,” ucapnya.

Selain sosialisasi mengenalkan dirinya ke konstituen, Supri juga melakukan pendidikan politik terhadap warga dengan mengampanyekan anti-politik uang.

Supri memunyai siasat tersendiri untuk menyampanyekan anti-politik uang tersebut. Ia menggunakan dalil-dalil agama untuk menangkalnya.

 “Dalilnya adalah, La Anallah Rusia Wal Murtasya; Allah Melaknat Orang yang Disogok dan yang Menyogok,” jelasnya.

Ia merasa, politik uang di lapangan sangat gencar. Makanya, politik transaksional tersebut harus dilawan.

“Ini bahaya. Akibatnya, orang-orang baik enggak mau terjun di politik karena biaya mahal. Dalam jangka panjang, tentu merugikan bangsa kita,” kata dia.

Setiap turun menemui konstituen, banyak warga yang meminta uang kepadanya sebagai caleg.

Praktik itu dianggapnya lumrah, karena caleg-caleg lain menebar uang ke konstituen untuk mencari dukungan. Rata-rata caleg menebar uang Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu per konstituen.

“Memang faktanya di lapangan banyak warga yang meminta uang, bahasanya leleur (uang pelicin),” tuturnya.

Selain turun ke lapangan, Supri juga gencar berkampanye melalui media sosial seperti di Facebook, Group Messanger, Group Whatsapp dan lainnya.

Muhammad Faesol Haq [Suara.com/Erick Tanjung]
Muhammad Faesol Haq [Suara.com/Erick Tanjung]

Modal Rp 2 Juta

Muhammad Faesol Haq memunyai persoalan yang sama dengan Supri. Dia adalah caleg modal dengkul yang berjuang agar mendapat banyak suara guna merasakan kursi empuk DPRD Bondowoso.

PKB menempatkan Faesol untuk bertarung di Dapil I yang meliputi Kecamatan Bondowoso, Tenggarang, dan Wonosari.

Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang tak memunyai pekerjaan tetap ini cuma punya modal sosial untuk maju sebagai calon wakil rakyat di Bondowoso.

Untuk biaya berkampanye, Faesol mengakui cuma mengeluarkan uang Rp 2 juta. Duit itu digunakannya untuk membuat alat peraga kampanye, yaitu cetak spanduk dan poster.

Uang Rp 2 juta dari kantong pribadinya itu ia gunakan untuk membuat 70 poster kecil dan baliho. 

“Soal memasangnya, saya ikut turun langsung bersama teman-teman relawan,” tuturnya.

Ia mengakui, relawan yang membantunya untuk sosialisasi di kampung-kampung adalah kerabat dan teman-teman sendiri.

Faesol merupakan pengurus Ansor Bondowoso dan berpengalaman sebagai tenaga pendamping desa. Ia juga aktif mendampingi pemuda-pemuda desa.

“Teman-teman relawan belajar dari periode sebelumnya membantu caleg, tapi setelah jadi, enggak pernah berkontribusi buat masyarakat. Jadi mereka sangat berharap saya terpilih jadi wakil rakyat, karena mereka tahu rekam jejak saya selama ini,” tutur dia.

Faesol mengakui lebih gencar berkampanye dari rumah ke rumah, ketimbang mengumpulkan warga dalam suatu forum. Ia lebih fokus merawat jaringan kekeluargaan.

“Di setiap desa, saya punya minimal 10 penggerak.”

Salah satu program yang ia tawarkan ke konstituennya adalah, memperjuangkan kesejahteraan kiai-kiai kampung, ustaz-ustaz yang mengajar mengaji di musala-musala. Hal ini mengingat Bondowoso banyak pondok pesantren dan basis santri.

“Saya menawarkan kebijakan-kebijakan yang pro-guru ngaji. Sebab selama ini, kebijakannya hanya level program dari pemkab, kami berharap ada perda ke depan,” terangnya.

Chalid Tualeka [Suara.com/Erick Tanjung]
Chalid Tualeka [Suara.com/Erick Tanjung]

Bayar Sampah

Siasat caleg bermodal cekak juga dipraktikkan oleh Chalid Tualeka. Ia adalah caleg dari Partai Hanura yang bertarung memperebutkan kursi di DPRD Kota Pekanbaru, Riau.

Mendapat nomor urut 2 dari partainya, Chalid mempromosikan diri sebagai ”caleg dhuafa” kepada warga di Dapil V, yakni Kecamatan Tampan.

Chalid adalah  bapak dua anak yang tak memunyai pekerjaan tetap. Ia pernah bekerja di LSM tapi sudah keluar.

Ketua Banser Kota Pekanbaru ini mengakui, tak mengeluarkan banyak uang untuk berkampanye. Ia hanya membuat puluhan poster, beberapa spanduk dan baliho.

Selebihnya, dia lebih banyak berkampanye dari rumah ke rumah dan memanfaatkan media sosial. Di media sosial, Chalid lebih gencar mengampanyekan visi misinya.

“Untuk spanduk dan baliho saya dapat sumbangan dari teman yang membantu,” katanya.

Selain itu, Chalid mendapatkan bantuan dari temannya untuk membayarkan uang sampah warga setempat.

Warga yang ia bantu membayarkan uang sampah berjumlah 400 kepala keluarga, tetangga terdekatnya. Biaya pemungutan sampah per keluarga Rp 15 ribu.

Chalid sudah memastikan bakal membayarkan uang sampah milik 400 kepala keluarga itu selama tiga bulan ke depan.

“Saya bikin kontrak dengan tetangga sebanyak 400 KK, untuk 3 bulan ke depan uang sampahnya sebesar Rp 15 ribu per bulan akan dibayari. Uang buat membayarnya juga bukan uang saya, tapi sumbangan dari hamba Allah, teman saya.”

Namun, jika nanti terpilih, Chalid berjanji menanggung biaya pemungutan sampah per bulan para tetangganya itu selama 5 tahun.

Nantinya, kalau menang pemilu, maka Chalid harus mengeluarkan uang Rp 6 juta per bulan untuk membiayai pemungutan sampah 400 KK.

“Sangguplah, kan total gaji anggota DPRD Kota Pekanbaru per bulan sekitar Rp100 juta,” terangnya. IlustrasiEma Rohimah/[suara.com]