Ini kisah tentang Noura Hassein, remaja perempuan di Sudan yang menghadapi hukuman pancung setelah dinyatakan bersalah membunuh suaminya.
www.SUARAKALTIM.com– Kasusnya berawal ketika Noura, yang dipaksa oleh keluarganya untuk menikah di usia dini, diminta tinggal bersama sang suami.
Karena sejak awal tak setuju dengan pernikahan, Noura memutuskan tak ingin melayani suaminya di hari-hari pertama mereka hidup bersama.
Suami dan beberapa kerabat kemudian memegangi Noura. Suaminya memaksakan hubungan badan dengan Noura.
Noura menyebutnya sebagai pemerkosaan.
Sehari setelah insiden ini, ketika suaminya ingin Noura melayaninya, Noura menikamnya hingga tewas.
Ketika Noura mengharapkan dukungan dari keluarganya, mereka menyerahkan Noura ke polisi dan kasusnya pun digelar di pengadilan.
—
Noura menikah pada usia belia, namun ia tak langsung berkumpul dengan suami dan dibolehkan oleh keluarganya untuk menyelesaikan sekolah.
Pembunuhan terjadi setelah bulan madu, saat ia berusia 18 tahun.
Pada 10 Mei 2018 pengadilan menjatuhkan vonis berupa hukuman mati untuk Noura.
Beredar kabar kasus ini membuat hubungan Noura dengan orang tuanya renggang, kabar yang telah dibantah baik oleh ibu maupun ayah Noura.
Pada awal Juni, sang ibu bertemu dengan Noura untuk pertama kalinya sejak Noura mendekam di tahanan. Pertemuan yang sangat mengharukan.
Sementara air mata terus mengalir, Noura yang sekarang berusia 19 tahun, mengatakan kepada ibunya bahwa pada mulanya dia berencana untuk bunuh diri setelah diperkosa suaminya.
“Dia membenci dirinya setelah dirinya diperkosa suaminya,” kata ibu Noura, Zainab Ahmed.
“Pisaunya sudah siap dipakai untuk merenggut nyawanya sendiri jika dia menyentuhnya lagi.”
Tetapi saat itu -ketika suami menyentuhnya lagi- dia malahan menusuknya. Ibunya menegaskan ini adalah tindakan membela diri.
Ketika Noura divonis bulan lalu, sebuah kampanye di internet #JusticeforNoura menyebar di dunia.
Supermodel Naomi Campbell dan aktris Emma Watson adalah bagian dari sejumlah selebriti yang menggabungkan diri dengan para pegiat, mengutuk hukuman mati dan menuntut vonis diubah.
Dan ketika Amnesty International mendesak para pendukung untuk mengirim email kepada Menteri Hukum Sudan memintanya untuk campur tangan, banyaknya pesan yang diterima memaksanya untuk membuat alamat email baru.
Noura baru mengetahui gelombang dukungan untuknya dari berbagai tempat di dunia setelah ibunya mengunjunginya di Penjara Perempuan Omdurman yang buruk keadaannya.
Sementara waktu ini, dunianya dibatasi dinding penjara, di mana semua tahanan tinggal di sebuah lapangan besar.
“Tidak adanya atap membuat sebagian besar perempuan menggunakan seprai untuk menghindari sinar matahari,” kata koordinator Justice Africa di Sudan, Hafiz Mohammed.
Noura selalu diborgol sejak pertama kali ditangkap.
Meskipun dia kelihatan sehat, ibunya mengatakan, Noura sudah kehilangan semangat.
—
Anak kedua dari delapan bersaudara, Noura dibesarkan di Desa al-Bager, 40 km arah selatan Khartoum. Tempat tersebut berdebu, dikelilingi bukit pasir dan berbatu, tidak jauh dari Sungai Nil.
Kecerahan warna buah dan sayuran yang digelar di kain bercorak di lantai pasar setempat memberikan sedikit warna di tempat yang kebanyakan bernuansa cokelat dan tandus.
Zainab Ahmed mengatakan anak perempuannya yang pintar tersebut adalah seseorang yang pendiam.
“Dia punya cita-cita,” kata Zainab. “Noura bermimpi mempelajari hukum di universitas untuk akhirnya menjadi seorang dosen.”
Keluarga besarnya meninggalkan daerah konflik Darfur pindah ke al-Bager ketika Noura masih anak-anak.
Mereka tidak mempunyai banyak uang, tetapi usaha ayah Noura -sebuah toko kelontong kecil yang menjual berbagai peralatan dan minyak- memungkinkan anak perempuannya mendapatkan pendidikan.
Hal ini membuatnya sangat gembira.
Tetapi pada tahun 2015, sepupu Noura, Abdulrahman Mohamed Hammad, 32 tahun, melamarnya. Saat itu dia berumur 16 tahun.
Ibunya mengatakan anak perempuannya pada mulanya tidak terganggu dengan lamaran tersebut, tetapi Noura meminta diizinkan melanjutkan pendidikannya. Dia juga meminta pernikahannya ditunda sampai ibunya melahirkan.
Meskipun demikian keluarga terus mendesak, terutama ayahnya sendiri, Hussein.
“Banyak anak perempuan di daerah ini menjadi hamil dan melahirkan anak haram,” kata Hussein.
Hussein mengatakan dirinya tidak menginginkan anak perempuannya mengalami nasib serupa dan menjadi ibu tanpa suami.
Meskipun Noura mengikuti upacara pendahuluan, dia kemudian semakin terlihat menolak pernikahan.
Dia melarikan diri ke bibinya di Sinnar, sebuah kota sekitar 350 km dari desanya. Noura berada disana selama dua hari. Dia diajak pulang ke rumah dengan pemahaman bahwa pernikahan tidak akan dirampungkan.
Kenyataannya, begitu dia kembali upacara pernikahan dilanjutkan tetapi dia tidak diharuskan tinggal bersama suaminya.
Selama dua tahun sesudahnya Noura tetap berada di rumah keluarganya. Ketika Abdulrahman mengunjungi, dia langsung mengatakan dirinya tidak berkeinginan menikah dengannya.
Meskipun demikian, tetua keluarga menekan agar Noura dan suaminya mulai meresmikan hubungan dan bertingkah laku seperti pasangan yang telah menikah secara resmi.
Di masyarakat yang dekat hubungannya, memang merekalah yang mengambil keputusan. Kehormatan keluarga adalah bagian terpenting dari kebudayaan mereka.
Ayahnya, Hussein, mengatakan dirinya tidak melihat alasan yang jelas terkait dengan penolakan anaknya. Pihak keluarga sudah bersabar selama bertahun-tahun.
Tekanan ini membuat Noura bersedia tinggal bersama Abdulrahman pada bulan April 2017.
—
Menurut keterangan langsung yang didapat CNN, Noura mengatakan dirinya menolak keinginan suaminya untuk berhubungan seksual selama minggu pertama mereka tinggal bersama.
Dia menangis. Dia mogok makan. Jika Abdulrahman tidur, Noura berusaha meninggalkan rusun, tetapi pintunya terkunci.
Pada hari ke sembilan, Abdulrahman pulang ke rusun dengan beberapa kerabat. Dia merobek pakaian Noura, mencengkeram dan memperkosanya, demikian dilaporkan CNN.
Hari berikutnya, Abdulrahman berusaha melakukannya lagi. Saat itulah Noura meraih pisau untuk membunuh diri, seperti dikatakannya kepada ibunya.
Berdasarkan keterangannya, Noura mengatakan dalam perkelahian tersebut tangannya terluka, sementara Abdulrahman menggigit punggungnya.
Kemudian kesaksian tersebut menyebutkan Noura melarikan diri ke rumah orang tuanya, sambil memegang pisau berdarah.
—-
Hussein dan istrinya ketakutan ketika mereka melihat anak perempuan mereka berdiri di depan mereka, memegang senjata yang dipakai untuk membunuh.
“Saya membunuh suami saya karena dia memperkosa saya,” katanya sambil menunjukkan pisau yang dipakai.
“Saya memahami betapa seriusnya masalah ini,” kata Hussein. Dia mengenal keluarga Abdulrahman dan meyakini mereka akan membalas dendam.
Seluruh keluarga Noura sekarang terancam, katanya, sehingga dirinya memutuskan untuk ke kantor polisi.
Dia melakukan hal ini untuk melindungi mereka, bukannya seperti yang dilaporkan, untuk menyerahkan Noura dan menelantarkannya. Tetapi anak perempuannya ditangkap dan dituduh merencanakan pembunuhan.
Keluarga Noura pulang untuk meminta para tetua mencapai kesepakatan dengan keluarga Abdulrahman.
Mereka menolak dan malahan mendesak Hussein dan Zainab untuk tidak lagi menemui Noura jika mereka memang menginginkan perlindungan bagi anak-anaknya yang lain.
Pembakaran rumah dan tempat usahanya membuat Hussein dan Zainab mematuhi keputusan tersebut.
Meskipun demikian intimidasi terus dilancarkan dan akhirnya seluruh keluarga pindah tempat tinggal.
Sebuah pengadilan di Omdurman, kota kedua terbesar Sudan, kemudian menyatakan Noura Hussein bersalah merencanakan pembunuhan dan bulan lalu – ketika keluarga suaminya menolak pembayaran ganti rugi dengan uang – Noura resmi akan dihukum pancung.
Pengacara Noura mengajukan banding dan memohon pengampunan. Keputusan diperkirakan akan dicapai dalam beberapa hari ini.
Hussein mengatakan dirinya tidak pernah bertemu anak perempuannya sejak malam itu, karena adanya ancaman penyerangan terhadap dirinya dan anak-anaknya yang lain.
“Saya juga ingin menemui anak perempuan saya dan menjenguknya di penjara agar dia bersemangat, tetapi saya tidak melakukannya,” kata Hussein.
Dia telah berbicara lewat telepon dengan Noura dan anaknya mengatakan dirinya dalam keadaan sehat.
Zainab Ahmed mengharapkan keajaiban di saat-saat terakhir bagi anak perempuannya. Dia ingin membayangkan para tetua keluarga akan melibatkan diri dan meyakinkan keluarga Abdulrahman untuk mendesak pengadilan mencabut hukuman mati.
Amnesty International memandang ini adalah harapan kosong.
“Di tahapan sekarang, hal ini sangat tidak mungkin. Jika mereka melakukan ini saat proses berlangsung, mereka dapat meminta mitigasi. Saat ini, keluarga tidak dapat mempengaruhi keputusan peradilan,” kata Dr Joan Nyanyuki, direktur Amnesty untuk Afrika Timur.
Meskipun demikian, dia mengatakan, tekanan dunia kemungkinan akan berpengaruh.
“Ketika kami meminta orang untuk mengirim email ke Menteri Kehakiman Sudan, menuntut pengampunan Noura, dia terpaksa menutup alamat emailnya dalam waktu dua minggu. Tindakan ini berpengaruh. Jika orang meng-email kedutaan Sudan di negara masing-masing menuntut pembebasannya, ini akan membawa pengaruh yang besar.”
Orang tua Noura sekarang tinggal di sebuah desa yang jauh dari al-Bager.
Mereka mengatakan pernikahan mereka tetap kuat. Mereka berdua dan anak-anak mereka saling mendukung dalam menghadapi cobaan ini. Tetapi nasib Noura tetap menghantui.
“Tidak seorangpun menginginkan anak perempuannya hidup menderita,” kata Hussein.
“Saya tidak pernah menyangka semuanya menjadi seperti ini.
“Kami berharap Allah akan menolongnya.”
Laporan tambahan Megha Mohan/Ilustrasi oleh Katie Horwich