Makanan yang Halal, Sebab Diterimanya Amal

 

Foto: Ilustrasi makan bersama.

www.SUARAKALTIM.com – Allah SWT menyampaikan dalam surat Al-Mukminun ayat 15 mengenai dua perkara yang sangat penting: memakan yang halal dan beramal saleh. Dua perkara yang ringan diucapkan, namun realitanya berat dalam pelaksanaannya.

Ketika seseorang semakin bertambah amanah serta beban duniawi yang dipikulnya, maka bertambah pula godaan, halangan, serta rintangan yang menghampirinya dalam menapaki dua perkara tersebut. Ketika godaan berdatangan, orang yang terlena dan lalai akan melanggar batas-batas kehalalan makanan serta memperlonggar batasan kesalehan sebuah amal.

Padahal makanan yang halal serta amal saleh adalah dua hal yang saling berkesinambungan. Amal saleh akan terangkat dengan makanan yang halal, makanan yang halal akan membuat amal saleh diterima oleh Allah.

Rasulullah SAW mengisahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa ada seorang musafir yang rambutnya kusut, wajahnya berdebu, mengangkat kedua tangannya ke arah langit seraya memohon, “Ya Rabbi, ya Rabbi”, namun doanya tidak dikabulkan oleh Allah dikarenakan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dia memenuhi kebutuhannya dengan harta haram. Mari kita renungkan, jika karena makanan yang haram doa tidak diijabahi oleh Allah, bagaimana dengan amalan-amalan lainnya.

Maka dari itu, para salaf sangat memperhatikan apa-apa yang akan masuk ke dalam mulut mereka dan yang keluar dari mulut mereka. Mereka sangat berhati-hati, sangat menjaga diri terhadap segala sesuatu yang akan mereka makan dan akan mereka ucapkan.

Mereka sangat meresapi sabda Rasulullah SAW berikut ini,

مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الجَنَّةَ

“Barangsiapa yang memberikan jaminan padaku, apa yang ada di antara kedua jambangnya –yakni mulutnya- dan kedua kakinya –yakni kemaluannya, maka aku menjamin surga baginya.” (HR Bukhari)

Dikisahkan bahwa pada suatu hari sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahuanhu berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah agar Dia menjadikan aku orang yang doanya selalu diijabahi.”

Rasulullah SAW pun bersabda,

“Wahai Sa’ad, perbaikilah makananmu, niscaya doamu akan dikabulkan. Sesungguhnya ada seorang yang memasukkan sesuap makanan haram ke dalam mulutnya, Allah tidak akan menerima shalatnya selama empat puluh hari.” (HR Bukhari)

Di dalam hadis lainnya Rasulullah SAW juga bersabda,

“Sesungguhnya ada seseorang yang membeli baju dengan harga sepuluh dirham. Namun dari sepuluh dirham tersebut ada satu dirham yang haram. Maka Allah tidak menerima amalannya selama baju itu masih lekat padanya.” (HR Thabrani)

Betapa menyedihkannya, ketika seseorang yang bersusah payah dalam melakukan kebaikan namun dia lalai mengaudit kehalalan harta yang dia pergunakan untuk kebaikannya itu. Dia telah membayangkan pahala yang akan diperolehnya, ternyata seluruh kebaikannya tak bernilai di hadapan Allah SWT akibat kelalaiannya tersebut.

Sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah SAW,

لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ وَلَا صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ

“Allah tidak akan menerima shalat kecuali dengan wudhu dan tidak menerima shadaqah dari harta ghulul.” (HR Muslim)

Ghulul merupakan istilah untuk harta haram, baik yang diambil secara khianat ataupun yang diambil dengan jalan menipu serta merampas harta milik orang mukmin.

Pada suatu hari Ibnu Umar radhiyallahuanhuma menjenguk Abdullah bin Amir yang sedang sakit. Ketika itu, Abdullah bin Amir merupakan gubernur Bashrah, beliau merupakan gubernur yang terkenal dengan berbagai perbaikan serta pembangunan infrastruktur, beliau banyak sekali membangun jalan serta menggali mata air. Orang-orang pun memuji dan menyanjung beliau atas kebaikan-kebaikan tersebut.

Maka dengan penuh kepercayaan diri beliau bertanya kepada Ibnu Umar radhiyallahuanhuma, “Apa pendapatmu wahai Ibnu Umar?” Ibnu Umar mengetahui bahwa Abdullah bin Amir telah menyalahgunakan jabatannya untuk merampas harta kaum muslimin, maka beliau menjawab, “Allah tidak menerima shadaqah dari harta ghulul, sesungguhnya yang buruk tidak dapat menghapuskan yang buruk.”

Abdullah bin Amir pun bertanya kembali, “Apa pendapatmu tentang rintangan-rintangan yang telah kami singkirkan (pembangunan infrastruktur), bukankah kami mendapatkan pahala dari semua itu?” Ibnu Umar tetap pada pendiriannya, “Sesungguhnya yang buruk tidak dapat menghapuskan yang buruk.”

Lalu Abdullah bin Amir pun menceritakan perihal shadaqah yang ia keluarkan serta budak-budak yang ia merdekakan. Namun Ibnu Umar menjawab, “Permisalanmu seperti orang yang mencuri unta milik orang yang bepergian haji lalu kau pergi berjihad dengannya.”

Potret kehati-hatian selanjutnya datang dari seorang Imam Abu Hanifah, suatu ketika beliau mengirim rekannya dalam suatu ekspedisi dagang. Sebelum berangkat beliau berpesan kepada rekannya, “Sesungguhnya dalam barang dagangan ini ada baju milik si fulan, baju tersebut mempunyai cacat, maka apabila engkau hendak menjualnya maka terangkanlah terlebih dahulu cacatnya kepada pembeli.”

Setelah rekannya kembali, Abu Hanifah pun menanyakan perihal baju tersebut. Rekannya menjawab, “Saya telah menjualnya.” Lalu beliau bertanya, “Apakah kamu menjualnya tanpa menjelaskan cacatnya?” “Ya”, jawab rekannya. Maka Imam Abu Hanifah pun membagi keuntungan bersama rekannya tersebut namun beliau kemudian menyisakan harga baju yang cacat tadi.

Begitulah kehati-hatian para salaf dalam persoalan kehalalan makanan yang masuk ke dalam mulutnya serta harta yang masuk ke dalam kantongnya. Bahkan ada beberapa tabi’in yang kehati-hatiannya melebihi Imam Abu Hanifah, mereka tidak mau memanfaatkan bangunan, jembatan, bahkan masjid yang dibangun oleh penguasa. Mereka beralasan bahwa harta penguasa telah bercampur dengan harta haram, terkontaminasi oleh harta pajak serta harta hasil sitaan.

Ada juga seorang wanita yang bertanya kepada Imam Ahmad perihal bolehnya memintal di bawah lampu penerangan yang dibangun para penguasa, wanita tersebut merasa resah karena tidak dapat memastikan apakah bahan bakar lampu-lampu tadi sepenuhnya berasal dari harta halal.

Ada pula seorang Imam Nawawi yang belum pernah merasakan buah-buahan negeri Syam. Ketika ditanya mengapa beliau berbuat demikian, maka beliau menjawab, “Sesungguhnya di sana terdapat kebun-kebun wakaf yang hilang, dan aku khawatir makan dari harta wakaf tersebut.”

Ada pula seorang Umar bin Abdul Aziz, meski menjabat sebagai khalifah, namun ketika melihat bangunan masjid Bashrah mulai rapuh beliau berkata, “Perbaiki yang pecah-pecah saja, jangan melebihi itu. Sebab aku tidak menemukan hak bagi bangunan masjid itu pada harta Allah. Dan tidak perlu bagi kaum muslimin memperbaiki sesuatu yang bisa merugikan Baitul Mal mereka.”