Cerpen : Agni Kasmaranwati
AKU datang ke kampung itu menjelang senja. Lolong dan gonggong anjing terdengar di mana-mana. Di jalan-jalan kutemukan lebih banyak anjing daripada manusia. Aku tersesat di sebuah kampung yang asing bagiku. Hanya kampung ini yang aku temui setelah berhari-hari berjalan. Aku tadi bertanya kepada salah seorang lelaki, di mana rumah kepala kampung. Lelaki itu menunjukkan jalan ke arah timur. Matanya masih memperhatikanku, ketika aku melangkah ke arah jalan yang ditunjuknya. Malam kini mulai merambat. iblis-iblis malam mulai keluar dan berkeliaran.
Kampung yang terpencil. Tak ada lampu-lampu jalan. Jalanan gelap. Hanya bulan yang membantu. Di depan sebuah rumah panggung aku mengetuk pintu. Suara anjing di balik kolong rumah memekakkan telingaku. Warga kampung kelihatannya sangat akrab dengan anjing. Seorang lelaki tua membuka pintu.
‘’Pasti adik tersesat?’’ kata lelaki tua itu. Dia membuka pintu lebar-lebar. Di dalam kulihat, ada seorang wanita tua. Lelaki tua itu tinggi kurus. Uban tak hanya nampak di rambutnya yang tipis, tapi juga di jenggotnya yang mirip ekor anjing. Sama dengan lelaki penunjuk arah yang kutemui di persimpangan menjelang senja, mata lelaki tua itu juga merah seperti sumber api.
“Iya pak. Saya ingin menumpang tidur,’’ jawabku.
Aku menjelaskan kepadanya. Aku pencinta hutan, sungai dan gunung, yang tersesat. Dia mempersilahkan masuk. Mandi? Aku tak ingin mandi. Dia mempersilahkan aku makan. Aku bersedia makan karena aku memang lapar. Aku dua hari tersesat. Selama dua hari aku hanya makan buah-buahan hutan dan air dari sungai. Setelah dua hari aku melewati hutan, menyeberangi sungai dan menaiki gunung aku mendengar gonggongan, atau mungkin lolongan anjing di bawah gunung. Aku yakin, bila ada anjing pasti ada kampung. Aku makan dengan lahap. Karena setelah 2 hari baru kini aku merasakan nasi dan daging bakar.
Lelaki tua dan istrinya itu menatapku. Dia menceritakan, orang asing yang datang malam hari ke kampung dan mengetuk rumahnya pasti lah tersesat. Karena, tak mungkin ada orang yang mau ke kampung mereka yang sepi untuk suatu tujuan tertentu. Tak ada apa-apa di kampung mereka.
“Beberapa hari yang lalu juga ada dua pecinta alam yang tersesat. Tapi kini mereka sudah pulang. Entah apakah mereka sudah sampai di rumah atau belum,’’ ujar kepala kampung itu.
Seakan mengerti dengan keherananku. Lelaki tua itu mengatakan, di kampung ini memang lebih banyak anjing dari manusia. Jumlahnya tak terhitung. Berkeliaran ke mana-mana mencari makan. Siang hari anjing-anjing itu lebih banyak tidur. Menjelang senja hingga tengah malam mereka mulai bermunculan dan mencari makan. Mereka menyerbu kuburan. Mengais-ngais tanah untuk mencari makanan. Warga pun khawatir. Karena anjing semakin banyak, sementara makanan yang ada mulai habis.
Anjing-anjing itu percuma dibunuh. Karena jumlahnya yang sangat banyak. Jutaan anjing. Sementara jumlah penduduk kampung hanya sekitar 100 ribuan jiwa saja. Semakin dibunuh, populasinya bukannya semakin berkurang tetapi malah terus bertambah.
Malamnya aku tak bisa tidur. Sekalipun telinga aku tutup dengan kain, tetapi suara-suara anjing yang berkelahi berebut makanan di kuburan masih terdengar. Aku bangun pagi. Berjalan-jalan sendirian mengamati kampung. Ketika aku keluar rumah kepala kampung, anjing-anjing sedang tidur di depan pintu. Jumlahnya puluhan—atau mungkin sekitar 70-an ekor. Di bandingkan anjing-anjing di rumah warga, anjing-anjing di rumah kepala kampung adalah yang paling sedikit jumlahnya. Mungkin jumlahnya tak lebih dari sekitar 600 ekor. Kulihat di samping rumah, di belakang rumah dan di bawah kolong rumah juga ada. Warnanya lebih banyak hitam. Mungkin anjing-anjing itu kekenyangan atau kelelahan setelah berebut makan di kuburan semalam. Malam dan siang kampung ini sama saja. Menyeramkan. Anjing-anjing ada di mana-mana. Tak hanya di rumah kepala kampung di seluruh rumah warga lainnya pun aku lihat anjing. Di sekeliling rumah penuh anjing. Ada yang tidur. Ada yang mendongakkan kepala ketika melihatku berjalan. Ada yang mengikutiku. Jumlahnya ratusan ekor.
Aku berbalik menuju ke rumah kepala kampung, yang ketika aku keluar tadi nampaknya masih tidur. Dia tak mempunyai anak. Hanya tinggal berdua dengan istrinya. Aku tak ingin berjalan terlalu jauh. Apa juga yang aku lihat di kampung anjing ini. Hanya rumah-rumah yang banyak dipenuhi anjing. Lebih baik aku di rumah kepala kampung saja dan segera minta antar menuju jalan arah pulang ke rumahku.
Tiba di rumah kepala kampung aku lihat dia dan istri tidak ada. Berarti mereka sudah bangun. Aku lihat mereka berada di pondok di tengah sawah. Sawah mereka terletak tak berapa jauh di belakang rumah.
Di pondok sawah, lelaki tua dengan didampingi istrinya yang lebih banyak diam itu bercerita tentang kampungnya banyak anjing?
‘’Anjing-anjing itu keluar dari mulut kami,’’ katanya, dengan matanya yang merah seperti ada bara api.
Selanjutnya lelaki tua itu menceritakan, bagaimana upaya dia menekan angka kelahiran anjing yang kian hari kian terus bertambah. Dia mengimbau, agar warga di kampung mereka berbicara seperlunya saja. Sayangnya, upaya itu kurang berhasil. Anjing-anjing terus lahir dari mulut mereka. Tanpa disadari jumlahnya semakin banyak. Semakin hari, kelahiran anjing dari mulut menjadi hal yang biasa. Malah kalau berbicara tak mengeluarkan anjing dianggap hal yang aneh. Seperti meniup balon permen karet, begitulah kira-kira anjing-anjing itu keluar dari mulut. Setelah jatuh ke tanah, anjing itu lari menjauh sambil menggonggong.
Aku hampir muntah ketika di bagian cerita dia menyebutkan; salah satu upaya lain untuk menekan laju pertumbuhan anjing adalah dengan menjadikan lauk makan mereka.
“Kami menanam padi dan lauknya dari daging anjing,’’ suara kepala kampung itu. Di sebelah istrinya tersenyum.
Persoalan lauk bagi warga bisa teratasi. Tapi bagaimana dengan anjing yang juga memerlukan makan. Kepala kampung itu menyebutkan, seakan balas dendam anjing-anjing itu mencari makan ke kuburan. Mereka mengali-gali tanah kuburan nenek-kakek moyang mereka. Apalagi bila ada warga yang baru meninggal dunia dan dikuburkan, malamnya para anjing itu berpesta pora. Penduduk kampung tak punya cara lain untuk menguburkan warga yang mati. Mereka tak mau mayat dibakar. Mereka ingin, orang yang meninggal dunia dikembalikan ke tanah.
“Lama kelamaan warga kampung kami cemas. Karena jumlah anjing semakin banyak sementara makanan untuk anjing tidak mencukupi. Suatu ketika ada sekelompok warga tersesat ke kampung kami,’’ suara kepala kampung lagi.
Para warga yang tersesat itu, lanjut kepala kampung, dari kampung lain. Kedatangan mereka bagi warga kampung kami semula dianggap sebagai pahlawan. Karena para warga kampung lain itu tidak melahirkan anjing. Tetapi mengeluarkan ular dari mulut mereka. Bila mereka berbicara, ular terhempas ke tanah, keluar dari mulut. Sama seperti anjing yang dilahirkan dari mulut warga kami, ular tersebut juga langsung menjauh. Menurut mereka, bila masih kecil, gigitan ular yang dilahirkan dari mulut mereka belum mematikan. Setelah besar ular-ular itu memiliki racun yang membunuh. Para warga tersebut melarikan diri, karena populasi ular di kampung mereka sudah sangat besar. Banyak warga yang mati digigit ular. Hampir setiap hari ratusan ular dilahirkan dari mulut warga.
“Kedatangan warga tersebut tentu saja mengkhawatirkan kami. Keselamatan kami terancam. Sekalipun mereka berjanji akan menuntaskan masalah dengan mengurangi populasi anjing, tapi ular-ular tersebut juga akan mengurangi populasi warga kampung kami. Warga tak setuju. Karena mereka tak ingin hidup dengan ular. Warga yang melahirkan ular tersebut akhirnya kami usir keluar dari kampung,’’ kata kepala kampung.
Aku lantas berpikir; hari ini juga aku harus meninggalkan kampung anjing ini. Aku bertanya kepada kepala kampung jalan menuju arah pulang. Mumpung matahari belum berada di atas kepala.
Kepala kampung menyarankan besok pagi saja. Tapi aku tetap ingin segera pulang. Aku tak bisa tidur dengan suara-suara anjing yang berebut makanan di tanah kuburan. Aku tak ingin menunggu besok.
Kepala kampung menunjukkan arah jalan pulang. Melewati hutan, menyeberangi sungai dan menaiki gunung. “Bila pulang besok pagi akan aku antar sampai perbatasan,’’ suaranya.
Tapi aku menolak. Aku ingin segera meninggalkan kampung. Anjing-anjing mendongakkan kepala ketika aku melintasi mereka. Mata-mata anjing itu merah dan lidah-lidah mereka terjulur, tapi bukan seperti lidah anjing, melainkan lidah ular. Sebelum pergi, kepala kampung berpesan, usahakan jangan lari bila takut dengan anjing. Tapi seakan anjing-anjing itu mengerti tujuanku yang ingin pergi meninggalkan kampung. Anjing-anjing itu mengikutiku. Aku berusaha tidak lari. Terus berjalan menuju hutan, lantas menyeberangi sungai dan menaiki gunung seperti yang disebutkan kepala kampung.
Anjing-anjing yang mengikutiku mengonggong. Gonggongan itu membuat anjing-anjing lain, yang berada di dalam rumah, di kolong dan sekeliling rumah serta di tempat-tempat lain bermunculan. Mereka mendongakkan kepala, menoleh ke arahku, lantas berlarian mengikutiku. Aku lihat jumlah anjing-anjing itu semakin banyak. Aku perkirakan jumlahnya tak lagi ratusan. Tapi sudah jutaan. Aku ingin segera tiba di hutan, lantas menyeberangi sungai dan menaiki gunung, untuk menghindari anjing-anjing itu.
Anjing-anjing itu semakin banyak. Aku sudah tak tahan lagi. Pesan kepala kampung agar aku jangan lari kuabaikan. Aku berlari. Anjing-anjing juga berlari. Perbatasan kampung masih jauh. Semakin aku berlari, anjing-anjing itu semakin cepat mengejarku. Jaraknya kian dekat, jumlahnya jutaan ekor. Aku harus berlari cepat agar bisa melewati hutan, menyeberangi sungai dan menaiki gunung agar tiba di rumah. Sayangnya, hutan, sungai dan gunung yang kutuju belum kelihatan. ***
#Agni Kasmaranwati. Kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur. Mengenyam pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Mulawarman. Bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Kota Samarinda. Cerpennya juga terhimpun dalam buku : Kalimantan Timur dalam Cerpen Indonesia (ed. Korrie Layun Rampan).
BACA JUGA CERPEN LAINNYA :
Cerpen Tapak Tangan Karya Mussidi – Singapura
Cerpen Akhmad Zailani (Indonesia) : IBLIS PEMAKAN MIMPI
MENGENAL SASTRAWAN BORNEO :
NORGADIS LABUAN, SASTRAWATI MALAYSIA ASAL LABUAN
MAHMUD JAUHARI ALI, LELAKI LEBAH dari BANJAR
TAJUDDIN NOOR GANI, SASTRAWAN dari BANJAR