Konfigurasi caleg yang kuat di medsos tentu akan diuji di ruang nyata, pun sebaliknya
Oleh: Heryadi Silvianto *)
*) Peneliti di Institute for Social, Law, and Humanities Studies (ISLAH)
www.SUARAKALTIM.com– Secara resmi Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) pada 17 Februari 2018 telah menetapkan 16 partai politik menjadi peserta pemilu 2019. Tak lama berselang, setelah melalui proses pengadilan di Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu) Partai Bulan Bintang (PBB) menjadi kontestan terakhir yang ditetapkan dengan nomer urut 19.
Kejutan belum selesai sampai di situ, berdasar pembacaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jakarta, Rabu (11/4), memerintahkan KPU menerbitkan Surat Keputusan (SK) tentang penetapan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) menjadi parpol peserta Pemilu 2019. Sontak saja, partai tersebut langsung mengklaim telah mempersiapkan pendaftaran bakal calon anggota legislatif (caleg).
Sejak saat itu, secara formal genderang perang ditabuh, kalkulasi politik dihitung, dan strategi pemenangan yang telah dirumuskan siap digelontorkan ke konsituten. Partai lama dan partai baru, saling berebut suara lebih dari 200 juta jiwa. Konsensus informal terbentuk: inilah tahun politik.
Atas dasar itu, kini mulai bermunculan gambar, poster dan iklan diberbagai sudut kota para calon anggota legislatif (caleg), bahkan partai yang sangat digdaya di social media pun mencuri start pasang baliho dan spanduk di dunia nyata. Setidaknya, ini menjadi pertanda bahwa tidak ada yang terlampau dominan di semua medan perang, baik offline maupun online.
Catatan khas lainnya yang perlu diperhatikan dari pemilu 2019, pemilihan anggota parlemen dan presiden berlangsung serentak dalam waktu yang bersamaan. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, untuk pemilihan presiden formulasi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diprediksi sekitar dua dan maksimal tiga pasangan calon. Sedangkan di saat yang bersamaan warga juga akan memilih puluhan ribu calon anggota legislatif, untuk kemudian menjadi legislator di pusat maupun daerah. Anggota DPR dan DPRD Provinsi/kab/kota pada akhirnya akan menjadi wajah resmi partai politik dalam etalase demokrasi selama lima tahun ke depan.
Sebagaimana kita paham, para caleg partai politik tidak bebas nilai. Setidaknya dengan itikad mereka menjadi caleg menunjukan bahwa mereka punya ‘ambisi’ politik. Yang membedakan hanya kadar dan derajatnya saja. Pun demikian ternyata latar belakang para caleg beragam; pengusaha, purnawirawan, anak muda dan bahkan tukang ojek.
Setidaknya secara sederhana, membuktikan bahwa demokrasi telah memberikan ruang yang setara bagi setiap warga negara untuk dipilih. Latar belakang boleh beda, tapi motif yang ditempuh relatif sama; meraih kekuasaan dan menikmati jabatan. Jika kita hendak sinis mengambil kesimpulan akhir.
Hingga saat ini harus diakui, alih-alih menyaksikan diskursus ideologis sesuai dengan platform partai, justru kita mencermati banyak anggota dewan baik di level pusat maupun daerah seperti mati suri dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat dan memberikan kontrol terhadap kinerja pemerintah. Senyap dalam riuh agregasi politik, namun riuh dalam menuntut fasilitas.
Menurut Miriam Budiardjo (2003), ada empat fungsi partai politik, yaitu komunikasi politik, sosialisasi politik, rekruitmen politik dan pengelolaan konflik. Dalam hal ini, penulis ingin memberikan penekanan kepada fungsi rekruitmen politik yang nampak kedodoran dari proses pencalegan, terlihat dari apa yang dilakukan oleh partai politik di ‘tahun politik’ ini.
Dalam proses pencalonan anggota legislatif dan mencari pejuang ideologis partai yang hendak ditempatkan di Parlemen justru dilakukan di persimpangan jalan–di tengah jalan-bukan sesuatu yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Penyelenggara pun mengingatkan ini, Komisioner KPU RI Hasyim Asy’ari mengingatkan agar parpol bisa selektif mengusung calon dalam pemilihan legislatif yang berlangsung 2019 mendatang.
Mengukur daya tahan ideologis di tahun politik
Ukuran proses kaderisasi yang sehat dari partai politik sejatinya bisa dilihat pada pesta demokrasi yang akan digelar, setidaknya kita bisa lihat dari kesungguhan partai sepanjang lima tahun terakhir mendidik dan melakukan kaderisasi untuk mengisi kolom kosong di nomor urut caleg. Nampaknya, situasi tersebut tidak bisa ideal di semua partai, dengan dalih mencari putra purti terbaik bangsa untuk berjuang bersama partai mereka melakukan outsourcing politik secara instan. Kader ditemukan ditengah jalan, bukan di awal perjuangan.
Faktanya proses rekruitmen caleg dilakukan tidak hanya berdasarkan pertimbangan aspek teknis administrative dan subtansial parpol. Namun juga kebutuhan partai – dana – serta kehendak electoral – pemilih – . Semisal untuk mememenuhi keterwakilan perempuan 30 persen perempuan sebagian partai asal memasukan yang penting ada dan terdaftar, bukan semata-mata karena alasan kesetaraan gender dan keberpihakan kaum marginal. Masih jauh filosofis itu.
Epik lain dari peristiwa mendadak caleg, partai politik membuka pendaftaran caleg setahun terakhir seperti dikejar setoran. Akibatnya, tentu membuka peluang cela dan seleksi yang tidak kredibel. Partai politik secara terbuka membuka pendaftaran caleg lewat media massa, luar ruang, bahkan dalam ruang senyap sekalipun.
Prasyarat pun dilengkapi oleh setiap caleg, selain aspek administratif juga syarat prinsip kompetisi prosedural: popularitas, elektabilitas dan ‘isi tas’. Sekali lagi mahfum adanya, bermunculanlah nama-nama mengisi kolom kosong dari berbagai latar belakang profesi; artis, pengusaha dan lain sebagainya. Tidak bisa dipungkiri, sebagian dari mereka semua awam politik. Berbekal ‘euphoria’ membela rakyat, mereka masuk hutan belantara politik.
Selama ini, ada tiga ‘rumus penting’ dalam proses pencalegan, yaitu modal politik, modal sosial, dan modal ekonomi. Seakan ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Tapi, faktanya bahwa ‘rumus’ itu tidak selamanya benar, masih ada saja caleg yang kemudian jadi anggota dewan dengan cara-cara yang ‘normal’. Meski jumlahnya tidak banyak. Sebagai catatan dalam periode keanggotaan DPR 2014-2019 telah terpilih 560 (lima ratus enam puluh) wakil rakyat yang duduk di DPR RI, berasal dari 77 Daerah Pemilihan (Dapil). Anggota Dewan yang terpilih bertugas mewakili rakyat selama 5 (lima) tahun, kecuali bagi mereka yang tidak bisa menyelesaikan masa jabatannya.
Ternyata, mereka terpilih menjadi ‘juara’ dari dapilnya dengan beragam sebab, tidak semata-mata karena popularitas dan isi tas yang selama ini menjadi asumsi umum dan hukum linier pemilihan umum. Tapi, karena kecerdasan dalam membangun personal branding, menciptakan difrensiasi dan menentukan positioning yang tepat.
Buktinya cukup banyak anggota DPR RI yang malang melintang muncul di media, ternyata tidak terpilih di pemilu. Pun anggota yang terkenal sangat kaya juga tidak terpilih. Di titik ini, kita masih bisa sedikit menghela napas, bahwa seseorang terpilih tidak semata-mata karena modal finansial dan popularitas, namun juga karena modal sosial dan politik yang telah dihimpun sekian lama. Dikemas dalam pendekatan komunikasi dan marketing politik yang ciamik. Di sisi lain kita juga diuntungkan dengan mulai adanya geliat pemilih cerdas yang tidak pernah sepi dari hiruk pikuk pemilu.
Selebritas sosial media dalam kontentasi politik faktual
Di pemilu kali ini uniknya para selebritas media social nampak turun gunung dan ikut serta, tersebutlah nama Guntur Romli, Tsamara Amany dan Kokok Dirgantoro dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Juga Reiza Patters dari Partai Demokrat dan Adly Fairuz dengan follower mencapai 1,2 juta merapat ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meski kita sempat ‘kecele’ dengan manuver Pandji Pragiwaksono dalam promosi tour dunia standup comedy, mengira akan ikut serta dalam kompetisi pemilu 2019.
Para seleb medsos, mereka terjun ke gelanggang politik berbekal kepercayaan diri bahwa popularitas virtual dapat menjadi salah satu modal dan amunisi yang berharga untuk mengarungi pertarungan pemilu. Masih harus diuji!. Jika selama ini mereka berselimut dalam balutan akun media social, mengeluarkan pendapatnnya dengan sangat baik dalam teks, kata, dan visual secara mandiri.
Tentu saja, akhirnya, perlu dibuktikan dalam kawah candradimuka bertemu pemilih real di lapangan dengan beragam kompleksitasnya. Proses transformasi untuk mempolitisasi serta mengkapitalisasi follower (pengikut) menjadi voter (pemilih) dalam waktu tidak lebih dari satu tahun, menjadi tantangan tersendiri dan hanya waktu yang bisa menjawab.
Cross market: caleg virtual dan factual.
Konfigurasi caleg yang kuat di medsos tentu akan diuji di ruang nyata, pun sebaliknya. Bagi caleg yang selama ini jarang berkecimpung di medsos, mereka seakan terpaksa harus ‘nyemplung’ tanpa pelampung yang memadai kedalamnya. Para caleg non medsos perlu masuk ke dunia baru dengan satu asumsi bahwa ada pemilih pemula di medium tersebut, segmentasi yang jumlahnya relatif besar di pemilu 2019. Terjadi semacam cross marketing yakni mengacu pada praktik yang dilakukan oleh dua atau lebih perusahaan, tetapi biasanya hanya dua, bersama-sama mengiklankan atau mengizinkan fasilitas untuk menjual produk dan layanan yang berbeda.
Seseorang yang terkenal dan memiliki follower yang banyak di dunia maya, dengan kontestasi caleg harus terjun ke dunia nyata. Menyapa masyarakat dan menggalang dukungan. Pun demikian dengan caleg yang ‘gaptek’ mendadak mengaktivasi sosial media asset yang selama ini terbengkalai. Atas kebutuhan dan waktu yang mendesak, tersedaklah popularitas diruang publik. Muak dan bising di Publik. Atas proses itu akhirnya kita akan menyaksikan tejadi kompetisi dalam perspektif sehat, maupun ‘kanibalisasi’ dalam perspektif negative. Pasar politik akan penuh sesak, karenanya perlu kecerdasan tersendiri dari pemilih untuk mencermati situasi ini.
Strategi yang menentukan atau taktik yang mematikan
Bagi para caleg yang percaya pada proses, meraih elektabilitas harus dibangun dengan tekun dan pendekatan yang sangat kreatif. Namun bagi caleg yang percaya proses, maka meraih elektabilitas adalah dengan jalan pintas dan cara tuntas; transaksional semata. Bayar dan menang!. Sekilas cara ini nampak ampuh dan ajaib, namun dalam jangka panjang jika situasi tersebut terus dipelihara maka akan membahayakan demokrasi yang kita tempuh selama ini. Nampak mahal dan miskin narasi. Asal beda, asal menang, asal-asalan dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Maka, perlu ada terobosan yang kreatif untuk menghentikan praktek instan dan transaksional model seperti itu, selain perlunya penguatan sistem yang secara ampuh membatasi pergerakan money politik. Di sisi lain diperlukan pemilih yang semakin mandiri dan bertanggung jawab untuk menentukan caleg yang akan dipilih. Membaca track record mereka, menguji gagasannya dan mamastikan bahwa apa yang diucapkan saat kampanye berbanding lurus saat menjadi anggota legisaltif kelak. (tulisan ini juga pernah dimuat republika)