Oleh : Sulthan Abiyyurizky Putrajayagni
Malang, di suatu sore saya mengunjungi SMA Selamat Pagi Indonesia. Sekolah yang terletak di Kota Batu Jawa Timur. ‘’Selamat pagi pak,’’ seorang siswa yang berpapasan dengan saya menyapa. Pertama saya berpikir, mungkin siswa ini salah ucap, kok “selamat pagi”. Beberapa siswa lainnya, yang saya temui, sibuk dengan aktifitasnya—lebih tepatnya aktifitas pekerjaan- juga mengucapkan “Selamat pagi”.
‘’Kenapa selamat pagi? Bukankah ini sudah sore dan menjelang senja?’’ tanya saya kepada seorang siswi yang sedang menyapu di sekitar kebun sayur.
‘’Kami di sini memang selalu diajarkan untuk mengucapkan selamat pagi. Agar kami selalu bersemangat. Walaupun hari sudah siang, sore atau malam,’’ jawabnya.
Saya tidak sempat untuk menanyakan namanya. Saya kembali berjalan-jalan. Siswa-siswinya ramah, hormat dan sopan terhadap tamu.
Sekolah ini unik, menurut saya. Berbeda dengan kebanyakan sekolah lainnya. Di dalam lingkungan sekolah ini, agak jauh dari gedung ruang kelas untuk belajar, saya melihat ada beberapa kebun berbagai sayuran, termasuk kebun sayur hidroponik, ada kandang ayam petelur, , ada kolam ikam, ada restauran, kolam ikan, ada kandang kelinci dengan ruangan bermainnya dan beberapa sesuatu yang menarik lainnya.
Saya mengabaikan isu bahwa SMA Selamat Pagi Indonesia adalah sekolah kristenisasi. Saya lebih melihat sisi lainnya saja.
Sistem pembelajaran menggunakan moving class. Tak hanya dalam kelas persegi empat, tetapi juga menggunakan sejumlah ruangan berbentuk oval dan bulat. Tujuannya agar para siswa tak terkungkung dalam sebuah ruangan.
Waktu belajar mulai pukul 07.00 sampai 15.00 WIB. Di sela istirahat makan siang, para siswa melihat hewan ternak dan tanaman sayuran yang mereka pelihara dan tanam.
Siswa dilatih wirausaha. Pembelajaran kewirausahaan dilakukan langsung dalam kampoeng succezz.
Unit usaha yang dikelola para alumni, mempekerjakan sejumlah pegawai. Mereka memiliki 16 divisi meliputi biro perjalanan, peternakan, pertanian, event organizer dan usaha lain.
***
SMA Selamat Pagi Indonesia terletak di lereng arjuna atau di jalan Pandanrejo No 1 Bumiaji Batu Jawa Timur. SMA yang berdiri 1 Juni 2007 ini adalah SMA berasrama atau boarding school. Ide pertama kali dicetuskan oleh Julianto Eka Putra, SE, CFP.
Ketua Yayasan Selamat Pagi Indonesia, Sendy Fransiscus Tantono, menyebutkan ide sekolah gratis itu muncul dari seorang pengusaha, Julianto Eka Putra, untuk membantu sesama.
“Dia dulu bilang tahun 2010 mau bangun sekolah, tapi ternyata lebih cepat, pada 2007 sudah berdiri,” katanya.
Inilah sekolah atau SMA yang benar-benar gratis. Seluruh biaya hidup dan biaya pendidikan ditanggung yayasan. Pihak sekolah tidak menerima atau meminta apapun biaya. Bahkan, salah seorang siswa yang saya temui menyebutkan, ‘’bahkan kami yang kelas X malah diberi uang pak. Setiap bulan, seratus ribu rupiah,’’ katanya. SMA Selama Pagi Indonesia lebih memprioritaskan kepada keluarga yatim piatu dan tidak mampu.
SMA Selamat Pagi Indonesia menerapkan muatan lokal entrepreneurship lengkap dengan laboratoriumnya, yang diberi nama Kampoeng Succezz. Kampoeng Succezz didirikan sebagai sarana belajar secara langsung dalam menerapkan teori-teori yang didapatkan di kelas. Agar siswa Sehingga mengalami secara nyata dan menjadi kebiasaan hidup.
‘’Pada tahun-tahun awal perjalanan, banyak rekan-rekan distributor yang sering menyaksikan tentang banyaknya jumlah anak putus sekolah di Indonesia karena masalah ekonomi baik melalui data-data dari surat kabar maupun liputan dari televisi dan surat kabar. Hal inilah yang kemudian menjadi dorongan utama rekan-rekan distributor High Desert, Perusahaan High Desert dan Billionaires Support System untuk merealisasikan angan-angan mendirikan sekolah gratis bagi mereka yang tidak mampu untuk bersekolah,’’ kata Julianto Eka. Julian adalah top leader di High Desert yang merupakan perusahaan pemasaran MLM dan Billionaires Support System. Perusahaan ini sebagai wadah yang memberikan sarana pendidikan bagi distributor High Desert.
Julianto Eka Putra, sengaja membuat sekolah gratis dengan komposisi siswa seluruh Indonesia dan dari lima agama yang berbeda, suku dan ras yang berbeda. ‘’Konsepnya persatuan nasional, bhineka tunggal ika, berbeda-beda tetapi tetap satu,’’ kata Presiden Komisaris sebuah perusahaan dengan 22 divisi usaha.
Wakil Kepala Sekolah SMA Selamat Pagi Indonesia, Didik Tri Hanggono, menambahkan sekolahnya menyediakan guru agama dari lima agama yang berbeda. Kecuali guru agama dari konghucu mengalami kesulitan mencari.
“Syarat jadi agama di SMA Selamat Pagi Indonesia adalah sarjana.Sampai sekarang kami belum bisa menemukan guru agama Konghucu yang sarjana. Jadi belum menerima siswa dengan kepercayaan Konghucu,” katanya.
***
Di tahun 2007, dengan modal sekitar Rp 10 milyar Julian membeli sekitar 3,3 hektar tanah. Semula membangun dua gedung utama, satu gedung sekolah dan satu gedung asrama. Kini dengan sumbangan donatur luasnya 14 hektar. Ada beberapa bangunan yang di bangun.
Julianto tidak berkeinginan mengembangkan kapasitas jumlah siswa atau pun membuka cabang sekolah di tempat lain. Dia berpikir untuk mengentaskan kemiskinan dengan pembekalan keterampilan wiraswasta atau pun keterampilan kerja.
‘’Hidup yang layak di atas garis kemiskinan akan mencegah siapa pun untuk mudah terprovokasi berbagai gerakan fanatis keagamaan, suku, ras maupun antargolongan. Jika sejahtera maka orang tidak akan berpikir mau makan apa besok,’’ katanya.
Setiap tahun, dia membatasi jumlah siswa sekitar 40 anak dengan prioritas anak yatim-piatu, yatim, keluarga tidak mampu dan dari berbagai daerah serta agama yang berbeda.
Para siswa diseleksi secara administrasi dengan komposisi sesuai demografi Indonesia terdiri dari 40 persen Islam, 20 persen Kristen, 20 persen Katolik, Hindu 10 persen dan Buddha 10 persen.
Soal tuduhan kristenisasi, Julian Eka membantahnya.
Tahun 2010, isu itu pernah muncul. Ibu asrama yang sedang ke pasar ditanya oleh pedagang, bahwa untuk apa belanja buat sekolah itu, itu sekolah kristenisasi. ‘’Padahal ibu asrama itu berjilbab’’ ujar Julian Eka.
Akhirnya tuduhan itu terbantahkan, dengan kegiatan di lingkungan sekolah. Selain ibu asrama, komposisi siswa dan guru yang mayoritas muslim. Julian Eka juga mengundang warga untuk menyaksikan langsung kegiatan dalam lingkungan sekolah.
‘’Sekarang malah banyak yang ingin daftar ke sini. Tapi karena kuota terbatas dan harus berasal dari wilayah yang berbeda,” katanya.