www.suarakaltim.com– Ikan lele, merupakan salah satu komoditas yang mempunyai potensi yang sangat tinggi. Maka dari itu bagaimana cara budidaya lele, pastinya kita mengenal budidaya perairan atau sistem budidaya untuk organisme perairan pada umumnya atau yang di kenal dengan budidaya tradisional dan budidaya modern.
Nah budidaya lele menggunakan sistem bioflok ini, merupakan sistem baru yang diterapkan dalam budidaya khususnya ikan lele. Apa sih bioflok itu? dan akhir-akhir belakangan ini, ramai di bicarakan dikalangan pembudidaya ikan lele khususnya di wilayah Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan.
Pada dasarnya kegiatan budidaya lele dengan sistem apapun bisa dikerjakan oleh siapapun. Namun yang jadi pertanyaannya, sudahkan menguasai ilmu suatu sistem budidaya lele yang diterapkan. Jika belum, maka perlu mengulang dari awal dan belajar lagi bagaimana cara budidaya lele yang benar untuk dikerjakan.
Salah seorang pembudidaya lele, Denny Prayogi (24), warga Dusun Sidosari, Desa Sidomulyo, Kecamatan Sidomulyo Lampung Selatan ini melakukan inovasi kreatif budidaya lele jenis sangkuriang menggunakan metode bioflok (kolam bulat).
Berani mencoba dan tidak takut gagal, merupakan prinsip Denny yang saat ini mengantarkan dirinya sukses menggeluti usaha lele sisitem bioflok organik dan juga sebagai inovator pembudidaya lele di tempat tinggalnya dan di Kecamatan Sidomulyo.
Meski berawal dengan modal yang minim, Denny berhasil mengembangkan usaha budidaya lele tersebut hingga meraup omzet puluhan juta rupiah. Jenis lele sangkuriang dengan sistem bioflok yang dibudidaya Denny ini, selain dapat mengurangi pakan juga lebih mudah pemeliharaannya dan dalam tempo 3 bulan lele sudah siap dipanen sehingga sangat cocok untuk para pembudidaya lele.
“Menekuni budidaya lele ini, sudah sejak dua tahun lalu yakni mulai 2016. Tapi menggunakan sistem kolam bioflok ini, baru sekitar enam bulan belakangan ini atau dua kali panenan,”tuturnya kepada teraslampung.com saat ditemui di rumahnya, Selasa 15 Januari 2019.
Denny menceritakan, awal dirinya menekuni usaha lele yang dirintisnya selama dua tahun (2016) dengan modal yang dikeluarkan tidak sedikit selalu mengalami kegagalan. Hasil panen lele yang didapat, tidak bisa menutupi modal yang sudah dikeluarkan.Tapi ia tidak putus asa, tetap berusaha mencari solusi memecah kebuntuan cara budidaya lele yang benar dan modal yang dikeluarkan tidak besar serta hasil panennya memuaskan.
“Selama ini, banyak pembudidaya lele khususnya di Kecamatan Sidomulyo dan di beberapa daerah lainnya di Lampung Selatan ini selalu bangkrut atau gagal panen. Bahkan mereka juga, tidak sanggup melanjutkan usaha budidaya lele karena tidak sesuai dengan modal yang dikeluarkan,”ujarnya.
Kemudian kebuntuan itu, akhirnya dapat terpecahkan setelah ia mendapatkan ilmu mengenau cara budidaya lele yang benar yakni dengan sistem bioflok dari salah seorang bernama Eko Prayitno yang merupakan dosen di Universitas UGM di daerah Grobokan, Semarang, Jawa Tengah beberapa tahun lalu.
“Tiga bulan saya belajar bioflok sama dia (Eko). Setelah dapat ilmunya, saya praktekkan buat satu kolam bioflok diameter 3 di pekarangan rumah. Ternyata benar hasilnya memuaskan, selama enam bulan dua kali panen lele. Selain modalnya kembali, keuntungannya cukup lumayan,”ucapnya.
Karena dirasa berhasil, Deny mencoba mengajak teman-temannya yang menggeluti usaha budidaya lele yang ada di Kecamatan Sidomulyo, Candipuro, Way Panji dan Kalianda menggunakan sitem bioflok tersebut. Hingga akhirnya, Denny pun menjadi inovator bagi pembudidaya lele di Kecamatan Sidomulyo, Kabupaten Lampung Selatan.
“Saat itu saya tularkan ilmu yang saya dapat ini, dengan memberikan pelatihan kepada teman-teman yang mengeluti usaha budidaya lele di rumah. Lalu mereka mencoba mempratekkan cara budidaya lele sistem biflok yang saya terapkan ini, dan alhamdulillah mereka mendapat hasilnya,”ungkapnya.
Denny menjelaskan, mengenai budidaya lele yang dilakukannya di dalam kolam dengan cara bioflok ini, bentuk kolamnya pun berbeda. Umumnya kolam berbentuk konvensional (kotak), namun kolam bioflok inovasinya ini berbentuk bulat dan dilapisi terpal sebagai wadah menampung air. Dibagian atas kolam diberi waring atau paranet, hal tersebut untuk mengurangi kandungan zat asam dari air hujan yang turun pada malam hari.
“Budidaya lele menggunakan sistem bioflok, selain kolamnya bersih dan tidak berbau amis, ikannya juga tidak banyak lendir dan dagingnya higenis. Kuntungan yang didapat, sangat lumayan,”bebernya.
Kolam bioflok ini, dinilai lebih praktis karena menghemat tempat. Untuk satu kolam lele berbentuk bulat dengan diamter 3, mampu menampung sekitar 5 ribu ekor lele dan modal yang dibutuhkan untuk membuat satu kolam bioflok Rp 4 juta dan untuk pakan dan lainnya Rp 2,8 juta.
Jika budidaya lele sistem konvensional (kolam kotak) dengan ukuran diameter 3, hanya bisa menampung 1.000 -1.500 ekor lele saja untuk satu kolamnya. Modal yang dikeluarkan untuk pakan dan biaya lainnya, cukup lumayan besar kisarannya.
Setelah terjun sendiri, kata pria alumnus SMAN 1 Sidomulyo tahun 2010 ini, mengetahui sejumlah kelebihan yang dimiliki sistem bioflok ini. Pertama kenapa selalu bersih, salah satunya karena sistem pembuangan kotoran lele. Bahwa kotoran lele yang biasanya mengendap dibawah, akan dikeluarkan melalui pipa khusus yang sudah dirancangnya.
“Tiap sebelum dikasih pakan, pipa yang terhubung keluar kolam itu dibuka. Nantinya air itu akan nyembur keluar bersama kotoran. Sisi lainnya, kolam ditambah air dan kolam tetap bersih tanpa harus dikuras dan inilah yang disebut dengan sistem bioflok,”bebernya.
Keunggulan lain budidaya lele sitem bioflok yakni dari pakan yang diberikan, daging lele lebih higenis dan berorganik. Selain itu juga, kolam dilengkapi mesin Aerator untuk menambah pasokan udara dalam air.
Selain itu juga, agar tidak terlalu sering menguras air kolam yang kotor, cukup dibuang sedikit saja lalu ditambah air dan kolam akan bersih lagi. Karena dengan cara tersebut, membuat lele cepat besar dan tidak maksimal.
Tidak hanya itu saja, lanjut Denny, air yang keluar dari pipa bersama kotoran lele dapat langsung dimanfaatkan menjadi pupuk organik. Karena pakan yang ia berikan, mengunakan larutan prebiotik sistem organik hasil racikannya sendiri yakni dari rempah-rempah seperti kunir, kencur, jahe, kunyit dan temu lawak. Selain itu juga, pakan pur atau pelet dicampur dengan pakan tambahan berupa dedak, daun kates dan kelor.
“Jadi pelet (pakan lele) direndam terlebih dulu dengan cairan prebiotik ini, supaya mengembang dan mengurangi jumlah konsumsi pakan secara berlebihan lalu kotoran lele menjadi protein sehingga membuat lele tidak berbau amis dan dagingnya higenis alami organik,”ucapnya.
Selama tiga bulan, lele dalam satu kolam bioflok milik Denny, mampu menghabiskan 3,20 Kg pakan yang sudah direndam larutan prebiotik. Dengan direndam dalam larutan ini, pakan lele berkurang hingga 20 persen dan lele sudah kenyang. Pemberian pakan itu sendiri, hanya dilakukan dua kali dalam sehari yakni pagi hari pukul 08.00 WIB dan malam hari sekitar pukul 20.00 WIB.
“Pemberian pakan dijadwalkan dengan berselang 12 jam, hal ini dilakukan agar ukuran lele tidak besar karena seringnya diberi pakan. Kalau kebesaran, lele itu malah tidak laku dan pemasarannya kurang,”ungkapnya.
Karena ukurannya yang tidak terlalu besar, lele hasil budidaya Denny selain tidak amis juga higenis. Sehingga mendapat hati bagi konsumen, khususnya di wilayah Kecamatan Sidomulyo dan sekitarnya di wilayah Lampung Selatan bahkan di beberapa Kecamatan lainnya di Lampung Selatan.
“Jadi keunggulan dan fungsi kolam bioflok ini, selain tidak memakan tempat (hemat lahan), juga bisa tebar padat, hemat pakan dan pengawasannya jauh lebih mudah,”terangnya.
Tak heran, jika omzet yang diraup Denny dari hasil budidaya lele dangan cara bioflok mencapai Rp 5.950.000 dari 3,5 kwintal lele dari hasil penjualan Rp 17 ribu/kilo untuk satu kali panen. Keuntungan yang didapat Denny dari budidaya lele sistem bioflok, Rp. 11.900.000 dari dua kali hasil panen lele miliknya saat ini. Jika empat kali panen yakni selama setahun, maka omzet yang didapat Denny bisa mencapai Rp 238 juta.
“Saat ini saya sudah memiliki 11 kolam bioflok, 4 kolam untuk budidaya lele yang siap dipanen setiap bulannya dan 7 kolam lainnya untuk pembibitan (deder). Budidaya lele bioflok, selain dapat untung besar setidaknya saya bisa memberikan penghasilan tambahan para ibu rumah tangga dilingkungan sekitar tempat tinggal saya ini,”ungkapnya.
Dikatakannya, kegagalan budidaya lele, karena mayoritas para pembudidaya tidak tahu bagaimana manajemen pakannya dan bagaimana cara mengurangi pakan pur pelet tersebut agar bisa menjadi lebih minim lagi.
“Biasanya pakan pelet yang digunakan mencapai 100 kg, dan pakan ini bisa kita pangkas menjadi 60-70 kg. Caranya, dengan memberikan pakan-pakan alternatif tambahan seperti daun pepaya, daun kelor dan pakan azolla,”kata dia.
Mengenai pakan tambahan, Denny juga membuat terobosan baru dengan membuat pakan sendiri yakni azolla atau disebut tanaman paku air yang kandungan protein di dalam pakan tersebut lebih dari 40 persen.
Tanaman genus suku azollceae ini, memang belum banyak masyarakat awam yang tahu tentang tanaman tersebut. Bahkan azolla ini, selain bermanfaat untuk pakan lele juga bisa digunakan untuk pakan ternak seperti sapi, kambing, itik, ayam dan juga burung puyuh.
“Ketika lele diberi pakan azolla, kwalitas dagingnya juga bisa mempengaruhi. Jadi azolla ini, selain bisa dimanfaatkan sebagai pakan alternatif ikan dan ternak, azolla juga dapat digunakan sebagai pupuk organik,”terangnya.
Pakan azolla ini, lanjut Denny, terbilang sangat murah, karena 1 kg azolla jika dibudidaya selama satu bulan bisa mencapai 30 Kg. Tanaman azolla sudah mempunyai pangsa pasar sendiri, sehingga laku untuk dijual dan harga pakan azolla ini Rp 60 ribu/kg. Jika dibandingkan dengan pakan pur (pelet ikan), sangat jauh sekali perbedaannya selain kandungan protein azolla sangat tinggi tanaman azolla juga bisa mengurangi biaya pakan hingga 50 persen.
Mungkin yang awalnya dengan pakan pelet penuh, kata Denny, kalau ditambah dengan pakan azola lalu ditambah lagi dengan ramuan-ramuan seperti kunyit, kencur, jahe, temu lawak, tetes tebu dan susu. Dengan formulasi itu, maka daging ikan sangat mempengaruhi mulai dari warna dagingnya, pulen dan juga higenis.
“Alhamdulilah pakan azolla ini sudah diuji di Fakultas UGM, bahwa azolla ini sangat membantu para petani untuk kembali ke organik. Karena azolla ini, mampu mengganti unsur N atau pupuk Urea. Bahkan azolla ini juga bisa diolah jadi panganan keripik, saat ini keripik azolla sudah dibudidayakan dan dikembangkan di pulau jawa. Tapi untuk di Lampung sendiri belum ada,”jelasnya.
Menurutnya, awalnya ada empat orang budidaya lele di wilayahnya, tapi saat ini sudah ada 25 orang dari beberapa Kecamatan di Lampung Selatan dan mereka tergabung dalam komunitas budidaya lele menggunakan sistem bioflok. Dari 25 orang ini ada sekitar 152 unit kolam, 123 menggunakan sistem bioflok dan sisanya kolam konvensional.
Melalui wadah itulah, setiap satu bulan kita sering kumpul musyawarah untuk memecahkan masalah baik itu keluhan, kekurangan ataupun kegagalan panen lele. Jadi semua permasalah itu, kita kupas di pertemuan tersebut.
“Untuk mengenai kesulitan dari para pembudidaya lele saat ini, bukan lagi bicara mengenai modal yang dikeluarkan tapi hanya masalah ketelatenan saja,”tukasnya.
Zainal Asikin | Teraslampung.com