Penulis: Zamroni
suarakaltim.com– Munas NU yang merekomendasikan kata kafir diubah menjadi non muslim, memantik respon berbagai pihak. Mulai dari komentar tokoh, ulama, ustadz hingga meme menghiasi ketidaksetujuan terhadap rekomendasi tersebut.
Alternatif yang diberikan pun tak luput menuai kontroversi. Kata muwatin (Rakyat sebuah negara) dianggap bukanlah padanan yang pas untuk menggantikan kata kafir, karena ini berpeluang mengaburkan batasan-batasan dalam Islam yang dibangun atas dasar keimanan.
Kata kafir adalah istilah syar’i untuk menyebut orang-orang yang yang tidak beriman. Dalam kata kafir, tidak ada maksud diskriminatif terhadap non muslim. Karena kafir itu hanya sifat bagi siapa saja yang belum mengakui prinsip-prinsip keimanan. Setelah ia mengakui prinsip-prinsip keimanan dan bersyahadat, maka ia tidak lagi disebut kafir.
Hal ini bisa ditinjau dari makna kafir itu sendiri, baik secara etimologis maupun terminologis. Secara etimologis, kata kafir berasal dari kata al-satru (الستر) dan at-taghtiyah (التغطية) yaitu menutupi. (Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, al-Madkhal li Dirasat al-Aqidah, hlm. 181).
Secara terminologis, kata kafir sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah :
الكفر عدم الايمان بالله ورسله سواء كان معه تكذيب أو لم يكن معه تكذيب بل شك وريب أو إعراض عن هذا كله حسدا أو كبرا أو اتباعا لبعض الأهواء الصارفة عن اتباع الرسالة
“Kekufuran artinya tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, baik karena mendustakannya atau tidak. Termasuk ragu atau berpaling darinya, baik karena iri, sombong, mengikuti nafsu yang mengajak untuk menyimpang dari risalah Islam.”(Majmu’ Fatawa, 12/335)
Penggunaan kata kafir tidak muncul setelah Islam berkuasa, namun sejak awal turunnya wahyu. Dalam Al-Qur’an, Allah telah mengkafirkan semua orang di luar Islam, termasuk ahli kitab dan orang-orang musyrik. Allah berfirman :
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam”.” (QS. Al Maidah: 72)
لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu salah satu dari yang tiga”.” (QS. Al Maidah: 72)
Dua ayat di atas menunjukkan bahwa Allah telah mengkafirkan orang-orang ahli kitab yang menuhankan Isa ‘Alaihissalam putra Maryam dan memiliki tiga tuhan. Pengkafiran dalam ayat tersebut tidak didasarkan karena kebaikan mereka atau status kewarganegaraan mereka, akan tetapi karena keyakinan mereka yang menyimpang. Ath-Thabari mengatakan :
وإن لم ينته هؤلاء الإسرائيليون عما يقولون في الله من عظيم القول، ليمسنَّ الذين يقولون منهم:”إن المسيح هو الله”، والذين يقولون:”إن الله ثالث ثلاثة”، وكل كافر سلك سبيلهم= عذابٌ أليم، بكفرهم بالله
“Jika orang-orang Israil tidak meninggalkan apa yang mereka yakini tentang Allah, yaitu keyakinan inti mereka, yang berkeyakinan bahwa “sesungguhnya Isa al-Masih adalah Allah”, dan yang berkeyakinan “sesungguhnya Allah adalah satu dari yang tiga”, semua kafir yang mengikuti ajaran mereka = mendapat adzab yang pedih karena kekafiran mereka kepada Allah.” (Tafsir ath-Thabari, 10/483)
Ayat lain dengan redaksi yang lebih lengkap, Allah mengkafirkan siapa saja di luar Islam, baik dari golongan ahli kitab maupun orang-orang musyrik. Allah berfirman.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah : 6)
Sebab mereka masuk neraka dan di dunia menjadi seburuk-buruk makhluk adalah kekafiran mereka. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam tafsir :
إن الذين كفروا -من اليهود والنصارى ومن المشركين- يدخلون يوم القيامة في جهنم ماكثين فيها أبدًا، أولئك هم شرّ الخليقة؛ لكفرهم بالله، وتكذيبهم رسوله
“Sesungguhnya orang-orang kafir -dari Yahudi, Nashara dan musyrik- pada hari kiamat akan masuk neraka Jahannam kekal di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk karena kekafiran mereka kepada Allah dan pengingkaran mereka terhadap Rasul-Nya.” (Al-Mukhtashar fi Tarsir, hlm.559)
Maka jelaslah bahwa kafir adalah istilah syar’i dalam Islam untuk menyebut orang-orang di luar Islam, baik dari ahli kitab maupun orang-orang musyrik. Allah telah mengkafirkan mereka, begitu juga Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka wajib bagi umat Islam untuk mengkafirkan orang-orang yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Wajib Bara’ kepada Orang Kafir
Selain wajib mengkafirkan orang-orang di luar Islam, kita juga diwajibkan untuk bara’ (berlepas diri) dari orang-orang kafir. Karena al-wala’ wal bara’ juga merupakan bagian prinsip dalam Islam. Seorang muslim dilarang untuk mengangkat orang kafir menjadi pemimpin, dilarang pula menjadikan mereka sebagai teman dekat atau mencintai mereka. Sedangkan mengganti kata kafir berpotensi mengaburkan prinsip wala’ dan bara’. Padahal Islam dibangun di atas prinsip wala’ dan baro yang ini tergambar dalam kalimat tauhid. La Ilaha, yang bermakna berlepas diri dari kekufuran dan Illallah yang artinya hanya loyal kepada Allah dan orang-orang yang diizinkan-Nya.
Allah berfirman :
لَّا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman akrab, pemimpin, pelindung, penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” (Qs. Ali Imran : 28)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. al-Maidah: 51)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan :
ينهى تعالى عباده المؤمنين عن موالاة اليهود والنصارى الذين هم أعداء الإسلام وأهله ، قاتلهم الله، ثم أخبر أن بعضهم أولياء بعض، ثم تهدد وتوعد من يتعاطى ذلك فقال ومن يتولهم منكم فإنه منهم إن الله لا يهدي القوم الظالمين
“Allah ta’ala melarang para hamba-Nya yang beriman untuk setia kepada Yahudi dan Nashrani yang mereka adalah musuh-musuh agama Islam dan kaum muslimin. Allah memerangi mereka, kemudian mengabarkan bahwa sebagian mereka menolong sebagian yang lain. Kemudian mengancam mereka yang melanggar ; (siapa yang setia kepada mereka (kafir) maka sesungguhnya ia termasuk bagian dari mereka, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/132)
Dari prinsip al-wala’ wal bara’ ini, muncul hukum-hukum yang berkaitan tentang hubungan antara muslim dan kafir. Seperti larangan menikahi mereka, putusnya hak warisan, larangan mendoakannya, larangan mengucapkan salam, larangan menyerupai mereka, berjihad memerangi mereka dan sebagainya. Karena dasar hubungan antara muslim dan kafir adalah permusuhan, sebagaimana Allah berfirman :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (QS. Al-Anfal : 39)
Allah memerintahkan kepada umat Islam untuk terus memerangi mereka, karena tabi’at mereka tidak akan pernah senang kepada orang-orang Islam. Sehingga mengkafirkan orang kafir adalah unsur yang wajib diyakini orang Islam tanpa ragu. Bukan maksud untuk mendiskriminasi mereka, namun ini adalah istilah syar’i yang memiliki konsekuensi dalam keyakinan dan hukum. Wallahu ‘alam bish showab.
BACA PULA :
- Munas NU Putuskan Non Muslim Bukan Kafir, Dinilai Ada Permainan Kelompok Liberal
- Kyai Cholil Nafis: Tidak Baik Takut Sebut “Kafir” ke Orang yang Tak Beriman kepada Allah
- KH Luthfi Basori: Tidak Sebut Non Muslim Sebagai Kafir Bertentangan dengan Syariat Islam
- “Kafir” Trending Topic di Media Sosial, Bikin “Perang” 01 dan 02
- Masalah Kafir dan Kewarganegaraan
- Mengapa Menolak Istilah Kafir
- Siapakah yang Telah Kafir?
- Ibnu Thawus dan Racun ‘Pemimpin Kafir Tapi Adil itu Lebih Baik’
- Kafir Tapi “Baik”, Dijamin Selamatkah?