Pengusaha Divonis 2 Tahun Penjara, Terbukti Suap Bupati Hulu Sungai Tengah Rp 3,6 M

 

JAKARTA, SUARAKALTIM.com  Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis dua tahun penjara kepada Donny Witono. Direktur PT Menara Agung Pusaka itu terbukti menyuap Bupati Hulu Sungai Tengah, Abdul Latif sebesar Rp 3,6 miliar.

“Mengadili, menyatakan terdakwa Donny Witono telah terbukti secara sah dan meyakinkan secara hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut seperti dakwaan pertama. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama dua tahun ditambah denda Rp50 juta dengan ketentuan bila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama satu bulan kurungan,” kata Ketua Majelis Hakim Muhammad Arifin di Pengadilan Tipikor, Kamis, 24 Mei 2018.

Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang meminta agar Donny divonis tiga tahun penjara ditambah denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan.

“Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa bertentangan dengan hukum dan program pemerintah dalam memberantas korupsi. Hal yang meringankan, terdakwa sopan, belum pernah dihukum, punya tanggungan keluarga dan mengakui kesalahan,” tambah hakim Arifin.

Donny memberikan uang Rp3,6 miliar dengan maksud agar Abdul Latif memenangkan perusahaannya pada lelang proyek pekerjaan pembangunan ruang perawatan kelas I, II, VIP dan Super VIP RSUD Damanhuri Barabai tahun anggaran 2017.

Awalnya Donny diminta memberikan commitment fee sebesar 10 persen nilai proyek oleh Fauzan Rifani yang merupakan orang dekat Abdul Latif. Namun Donny meminta agar diturunkan menajadi 7,5 persen. Setelah disetujui Abdul Latif, Donny menyatakan akan menyerahkan fee yang disepakati setelah perusahaannya menjadi pemenang lelang.

Abdul Latif lalu minta Fauzan menyampaikan hal itu kepada kelompok kerja (pokja) pelelangan bahwa sudah tercapai kesepakatan antara Latif dan Donny dan agar memenangkan PT Menara Agung Pusaka.

Perusahaan tersebut akhirnya diumumkan sebagai pemenang lelang proyek dan menandatangani kontrak pada 11 April 2017 untuk masa pengerjaan 260 hari kalender yang berakhir 31 Desember 2017. Nilai kontrak adalah sejumlah Rp 54,451 miliar setelah dipotong PPn dan PPh sejumlah Rp 48 miliar. Artinya nilai fee untuk Latif adalah Rp 3,6 miliar.

Donny lalu memberikan Fauzan 2 bilyet giro pada akhir April 2017 di hotel Madani Barabai yang pencairannya dilakukan dalam 2 tahap yaitu Rp 1,8 miliar setelah menerima uang muka pekerjaan dan Rp 1,8 miliar setelah selesai pekerjaan.

Namun karena bilyet giro tidak dapat dicairkan di Bank Mandiri Barabai maka Fauzan pada 30 Mei 2017 bersama Donny mendatangi Bank Mandiri Cengkareng, Jakarta Barat dan memproses pemindahbukuan ke rekening Mandiri milik Fauzan Rifani sejumlah Rp 1,82 miliar dengan perincian Rp 1,8 miliar untuk Abdul Latif dan Rp 20,45 juta untuk Fauzan.

Fauzan lalu mencairkan dan menyerahkan fee dari Donny kepada Abdul Latif stelah menyisihkan sebagian uang ‘fee’ kepada bagian dinas RSUD, Pokja ULP, kepala RS, kepala bidang dan PPTK sesuai perhitungan ‘fee’ yang telah dibuat.

Pemberian selanjutnya dilakukan pada 3 Januari 2018 dengan cara transfer dari rumah Donny di Surabaya sebesar Rp 1,825 miliar dengan rincian Rp 1,8 miliar untuk sisa “fee” dan Rp 25 juta untuk Fauzan.

Uang Rp 1,8 miliar lalu dimasukkan ke rekening koran atas nama PT Sugriwa Agung di Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Selatan. PT Sugriwa adalah perusahaan milik Abdul Latif.

Terhadap putusan itu, baik Donny Witono maupun jaksa penuntut umum KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari. 

sk-007/reza yunanto/kriminologi.id/foto pixabay.com