Oleh: Fajar Shadiq, wartawan Kiblatnet
www.SUARAKALTIM.com– Sejarah berdirinya Negara Islam Indonesia bagi banyak orang terkesan gelap dan suram. Hal itu karena pemerintah Indonesia sejak zaman Soekarno hingga Orde baru menganggap Darul Islam (DI/TII) yang dipimpin Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo sebagai gerakan pemberontakan.
Kisah mengenai proklamasi berdirinya suatu negara Islam di Indonesia pun dianggap tabu untuk dibahas. Apalagi ditemukan banyak versi di sekitar kapan sesungguhnya Negara Islam di Indonesia diproklamasikan. Kiblat.net berupaya menyibak semak belukar sejarah yang sukar untuk ditembus untuk disajikan kepada pembaca apa adanya.
Sejarawan Belanda yang paling mula melacaki asal usul gerakan Darul Islam, C.A.O. van Niewenhuijze, mengatakan Darul Islam ialah suatu gerakan di daerah Tasikmalaya-Ciamis yang dikepalai salah seorang ulama. Pimpinan gerakan yang pada mulanya berada dalam tangan kiai ini, berangsur-angsur diterima oleh seorang politikus Muslim, S.M Kartosuwiryo. (Van Nieuwenhuijze 1958:167)
Sejarawan lain yang rajin meneliti sejarah kemerdekaan Indonesia, Hiroko Horikoshi sepakat dengan pendapat van Nieuwenhuijze, sekaligus mengidentifikasi bahwa ulama tersebut ialah Kiai Yusuf Tauziri. Horikoshi melukiskan tokoh ini sebagai pemimpin kerohanian gerakan Darul Islam.
Kiai Yusuf merupakan tokoh sentral dalam rentetan sejarah berdirinya cita-cita negara Islam di Indonesia. Pada masa revolusi, ia membangun Laskar Darussalam. Istilah Darussalam inilah yang kemudian menjadi cikal mula Darul Islam. Secara harfiah Darul Islam ialah wilayah Islam. Yang maksudnya adalah bagian Islam dari dunia yang di dalamnya keyakinan dan pelaksanaan syariat Islam dan segenap aturannya wajib dilaksanakan.
Kiai Yusuf mengenal Kartosuwiryo ketika menjadi anggota Dewan Sentral Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada 1931-1938. Keluarga keduanya juga bahu-membahu dalam perjuangan melawan penjajah di Jawa Barat. Istri Kartosuwiryo, Dewi Siti Kalsum, bergaul akrab dengan adik-adik perempuan Kiai Yusuf yang memimpin seksi wanita Gerakan Pemuda Islam Indonesia Garut. Hingga pada suatu saat, Kartosuwiryo meminta sahabatnya itu bahwa sudah saatnya ulama berperan untuk mendeklarasikan negara Islam pada tahun 1945. Namun Kiai Yusuf menolak.
“Pada saat Jepang menyerah dalam Perang Dunia Kedua, pada tanggal 15 Agustus, Kartosuwiryo meminta saya untuk memproklamasikan (NII) Negara Islam Indonesia, tetapi saya menolak.” Demikianlah kata Kiai Yusuf Tauziri seperti dikutip oleh Pinardi (1964:51).
Kendati demikian, dalam buku “Darul Islam; Sebuah Pemberontakan” tulisan Cornelis Van Dijk disebutkan ada versi lain mengenai awal paling dini gerakan Darul Islam yang memastikan bahwa Kartosuwiryo telah memproklamasikan Negara Islam Indonesia pada hari sekitar menyerahnya Jepang.
Menurut Alers, “Sekarmaji Kartosuwiryo memproklamasikan Darul Islam-nya sejak 14 Agustus 1945,” tetapi menarik kembali proklamasinya sesudah mendengar pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945 (Alers 1956:73).
Keterangan Alers ini belakangan diragukan oleh Van Dijk. Menurutnya, dengan memperhatikan tanggal dinyatakannya proklamasi Kartosuwiryo, yaitu sehari sebelum Jepang menyerah maupun tempat kemungkinan terjadinya, keterangan Alers jadi meragukan.
“Sangat tidak mungkin Kartosoewiryo memproklamasikan negaranya di Jakarta. Pertama, Jepang tidak akan mengizinkannya. Kedua, bila Kartosuwiryo benar-benar telah memproklamasikan suatu negara di Jakarta, tentu ini telah diketahui lebih luas, kecuali tentunya proklamasi dilakukan pada suatu pertemuan kecil dan rahasia,” jelas Van Dijk.
Sampai di sini, sudah ada dua versi terkait proklamasi negara Islam Indonesia. Yakni pada 14 Agustus dan 15 Agustus 1945. Keduanya dilakukan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia. Menurut para pengikut Kartosuwiryo, berdasarkan dua versi sejarah inilah naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dibuat oleh Soekarno.
Al Chaidar, penulis buku “Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam” malah menulis bahwa teks proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945 merupakan salinan dari teks yang disiapkan oleh SMK untuk Kiai Yusuf Tauziri pada 14 Agustus 1945.
“Hari-hari menjelang proklamasi 17 Agustus 1945, Kartosoewirjo telah lebih dahulu menebar aroma deklarasi kemerdekaan (negara) Islam, bahkan pada 13-14 Agustus 1945 Kartosoewirjo telah menyiapkan naskah proklamasi yang diedarkannya kepada para elite pergerakan sehingga naskah Proklamasi yang ditulis oleh Soekarno hanya berdasarkan ingatan tentang konsep proklamasi Islam yang dipersiapkan oleh Kartosoewirjo, bukan pada konsep pembukaan UUD 1945 yang dibuat oleh BPUPKI dan PPKI,” tulis Chaidar.
Versi sejarah yang ketiga, menguatkan analisis sejarah Van Dijk. Kartosuwiryo memang belum pernah memproklamasikan negara apapun pada 1945. Buktinya, pada awal tahun 1948, Kartosuwiryo kembali mendatangi Kiai Yusuf Tauziri. Ia kembali meminta pendiri Pondok Pesantren Darussalam Wanaraja Garut itu untuk memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Tetapi seperti juga pada 1945, Kiai Yusuf menolak (Djawa Barat 1953:216)
Bukan tanpa alasan Kartosuwiryo meminta Kiai Yusuf untuk melakukan hal itu. Suasana keumatan pada tahun 1948 itu, sangat mendukung untuk berdirinya sebuah pemerintahan berdaulat pasca terjadinya perjanjian Renville. Republik kehilangan banyak wilayah. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Perjanjian itu menyetujui sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
Dampak-dampak dari perundingan Renville sangat terasa bukan hanya di kota melainkan hingga ke wilayah pedesaan. Salah satu akibatnya adalah penarikan mundur pasukan Indonesia dari wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur ke wilayah Jawa Tengah. Karena perundingan ini berlaku antara Pemerintah Republik dan Belanda, maka Divisi Siliwangi mematuhi ketentuan tersebut.
Ini berbeda dengan pasukan-pasukan kemerdekaan lain yang tidak tergabung dalam Tentara Republik Indonesia. Yang dimaksud ialah kedua organisasi gerilya Islam di Jawa Barat yaitu Sabilillah dan Hizbullah yang menolak mematuhi perundingan Renville.
Peneliti sejarah Indonesia dari Cornell University, George McTurnan Kahin menukas, “Dalam waktu dua bulan kira-kira 35.000 anggota pasukan Republik ditarik mundur.. kira-kira 4.000 anggota pasukan, sebagian besar batalyon-batalyon Hizbullah Masyumi tetap tinggal di tempat.” (Kahin 1970:234)
Baca halaman selanjutnya: http://sesudah-perundingan-renville/