Memahami Makna Tawasul dan Manaqib
Acara Manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jailani sering kali dijumpai di pesantren dan halaqah-halaqah sufi di Nusantara. Jamaahnya bisa mencapai ribuan orang. Mereka datang untuk mendengarkan ceramah, mengalap berkah dan menimba ilmu, sambil berdzikir dan munajat bersama guru-guru mereka. Namun, kerap kali, selalu ada saja segelintir orang yang mempertanyakan acara semacam ini. Mereka menganggapnya sebagai bid’ah.
KH Bisri Mustofa pernah ditanya oleh beberapa orang tentang Manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
Fulan: “Apa hukumnya membaca Manaqib?”
KH Bisri Mustofa menjawab: “Mengertikan saudara arti kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari manqabah, yang artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang.
Jadi, membaca manaqib artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak terpujinya seseorang. Oleh sebab itu, kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-orang yang baik dan mulia, seperti Manaqib Umar bin Khattab, Manaqib Ali bin Abi Thalib, Manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Manaqib Sunan Bonang, dan lain sebagainya. Tidak boleh dan tidak benar kalau ada orang yang berkata Manaqib Abu Jahal, Manaqib DN Aidit dan lain sebagainya. Kalau demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih tetap menanyakan hukumnya manaqib?”
Fulan: “Betul. Tetapi cerita di dalam Manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jailani itu terlalu berlebihan sehingga tidak masuk akal. Misalnya, kantong berisi dinar diperas lalu keluar menjadi darah, tulang-tulang ayam yang berserakan, diperintah berdiri lalu bisa berdiri menjadi ayam jantan”
KH Bisri Mustofa menjawab: “Kalau saudara melanjutkan cerita-cerita yang tidak masuk akal, sebaiknya jangan hanya berhenti sampai ceritanya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani saja, tetapi teruskanlah! Misalnya cerita sahabat Umar bin Khattab berkirim surat kepada Sungai Nil, sahabat Umar bin Khattab memberi komando dari Madinah kepada prajurit-prajurit yang sedang bertempur di tempat yang jauh dari Madinah. Cerita tentang Isra Mi’raj, tentang tongkat menjadi ular, cerita gunung yang pecah, kemudian keluar onta yang besar dan sedang bunting, cerita tentang Nabi Isya yang menghidupkan orang yang sudah mati. Dan, masih banyak lagi yang semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.”
Fulan: “Kalau cerita itu keluar dari Nabi Allah sudah memang mukjizat, padahal Syekh Abdul Qadir Al-Jailani itu bukan nabi, apa bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal?”
KH Bisri Mustofa menjawab: “Baik Nabi Allah ataupun Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau sahabat Umar bin Khattab, semuanya itu masing-masing tidak bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi, kalau Allah Ta’ala membuatnya bisa, apakah saudara dapat menghalanginya?”
Fulan: “Apakah selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?”
KH Bisri Mustofa menjawab: “Hal-hal yang menyimpang atau keluar dari adat (kebiasaan) itu kalau keluar dari Nabi Allah maka dinamakan mukjizat, dan kalau keluar dari wali Allah dinamakan karomah.”
Fulan: “Apakah dalil yang menunjukkan bahwa selain Nabi Allah dapat membuatnya bisa (mampu) menimbulkan hal-hal yang menyimpang dari adat atau tidak masuk akal?”
KH Bisri Mustofa menjawab: “Silakan saudara baca cerita dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah Sulaiman yang dibuat menjadi bisa oleh Allah untuk memindahkan Arsy Balqis dalam QS An-Naml [27]: 40: “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab: ‘Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.’ Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: ‘Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencobaku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Ku). Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) diri sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia.”
Fulan: “Tetapi, di dalam Manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jailani ada juga kata-kata memanggil kepada ruh yang suci atau kepada wali-wali yang sudah mati untuk dimintai pertolongan, apakah itu tidak menjadikan musyrik?”
KH Bisri Mustofa menjawab: “Memanggil-manggil untuk dimintai pertolongan, baik kepada wali yang sudah mati atau kepada Bapak-ibu saudara yang masih hidup dengan penuh ‘itikad bahwa pribadi wali atau pribadi Bapak-ibu saudara itu mempunyai kekuasaan untuk dapat memberi pertolongan yang terlepas dari kekuasaan Allah Ta’ala, maka itu hukumnya syirik!
Tetapi, kalau dengan ‘itikad bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka itu tidak ada halangannya, apalagi sudah jelas bahwa kita meminta pertolongan (ghauts) kepada para wali itu maksudnya minta dimohonkan kepada Allah Ta’ala.”
Fulan: “Manakah yang lebih baik, berdoa kepada Allah secara langsung atau dengan perantara (tawasul)?”
KH Bisri Mustofa menjawab: “Langsung boleh..Dengan perantara pun boleh. Sebab, Allah Ta’ala Maha Mengetahui dan Maha Mendengar. Saudara jangan mengira bahwa tawasul kepada Allah melalui nabi-nabi, wali-wali itu sama dengan saudara memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan perantara kepala kantor atau atasan Anda. Pengertian tawasul yang demikian itu tidak benar. Sebab berarti mengalihkan pandangan terhadap yang ditujukan (pihak atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga di samping mempunyai kepercayaan terhadap kekuasaan pihak atasan, saudara juga percaya kepada kekuasaan pihak perantara. Tawasul kepada Allah tidak seperti itu!
Kalau saudara ingin contoh tawasul kepada Allah Ta’ala melalui nabi-nabi dan wali-wali itu, seperti orang sedang membaca Al-Qur’an dengan memakai kacamata. Orang itu tetap memandang Al-Qur’an dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.”
Fulan: “Bukankah Allah berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan.’ Atau firman-Nya ‘Dan orang-orang yang tidak menyembah bersama Allah akan Tuhan yang lain”..QS Al-Furqan:68. Dan, masih banyak lagi ayat yang lain.”
KH Bisri Mustofa menjawab: “Betul. Tetapi semuanya itu sama sekali tidak melarang kita bertawasul dengan pengertian sebagaimana yang telah saya terangkan tadi. Coba perhatikan contoh cerita berikut ini:
Saudara mempunyai seorang majikan yang kaya-raya, yang memiliki perusahaan besar. Saudara sudah sangat kenal baik dengan beliau, bahkan Anda termasuk pekerja yang paling dekat dengannya. Lalu, saya ingin diterima bekerja di perusahaannya. Untuk melamar pekerjaan itu, Anda (sebagai guru saya) saya ajak menghadap kepadanya bersama-sama, dan saya berkata. “Bapak pimpinan perusahaan yang mulia, kedatangan saya bersama guru saya ini, ada maksud yang ingin saya sampaikan, yaitu mohon diterima menjadi pekerja di perusahaan Bapak. Saya ajak guru saya menghadap Bapak karena saya pandang guru saya ini adalah orang baik hati dan jujur, serta juga kenal baik dengan Bapak.” Coba perhatikan, kepada siapa saya memohon? Kemudian adakah gunanya saya mengajak saudara menghadap majikan itu?
Misalnya, ada dua orang pengemis. Pengemis pertama datang sendirian. Sedangkan pengemis kedua datang dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Anak yang satu masih menyusu dan anak yang satu lagi baru bisa berjalan. Di antara kedua pengemis itu, mana yang lebih mendapat perhatian Saudara? Saudara tentu akan menjawab, pengemis kedua yang membawa anak-anak itu yang lebih diperhatikan bukan? Kalau begitu, apakah ada gunanya pengemis itu membawa anak-anak yang masih kecil? Kepada siapa pengemis itu meminta? Apa pengemis itu meminta kepada anak-anaknya yang masih itu? Tentu tidak bukan?!”
–Dikutip dari buku Wirid-wirid Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Rahasia Amalan-Amalan untuk Meraih Cinta Sejati, Ust. M. Syukron Maksum.