Oleh: Hanafi Mohan
“Teruntuk Pemimpin Negeri Khatulistiwaku; Allahyarham Tuanku Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie (Sultan Hamid II), ku persembahkan pembelaanku untukmu”.
Begitulah yang dinyatakan oleh Anshari Dimyati, mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia menjelang Sidang Terbuka untuk mempertahankan tesisnya pada hari Selasa, 24 Januari 2012 di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta.
Tesis berjudul “Delik Terhadap Keamanan Negara (Makar) di Indonesia; (Suatu Analisis Yuridis Normatif pada Studi Kasus Sultan Hamid II)” tersebut, telah diujikan di hadapan Dewan Penguji: Prof Dr jur Andi Hamzah SH, Prof Mardjono Reksodiputro SH MA, dan Dr Surastini Fitriasih SH MH.
Pada teks sejarah negara bernama “Indonesia”, namanya tertulis dengan tinta merah, ia seorang yang tidak nasionalis, dia pengkhianat bangsa. Mungkinkah sultan yang sangat mencintai rakyatnya itu ternyata seorang pengkhianat bangsa? Mungkinkah sultan yang sangat mencintai negerinya itu lahirnya bukan seorang nasionalis? Andaikan ditayangkan sebuah film berjudul “Sejarah Indonesia”, ia merupakan pemeran antagonisnya (lebih tepatnya distereotipekan sebagai pemeran antagonis). Hingga kini, film tersebut masih ditayangkan di bioskop-bioskop yang ada di negara bernama “Indonesia”.
Memanglah hebat film yang satu ini, karena daya biusnya sangat dahsyat. Para penonton takkan sadar kalau mereka lahirnya sedang terbius dengan jalan cerita film yang mereka tonton itu, sedangkan di sisi lain tebersit pesan suatu propaganda dalam film tersebut.
Alkisah, di tengah hiruk-pikuknya kehidupan kenegaraan, pada tahun 1950 terjadi “Pemberontakan Westerling” di Negara Pasundan (kini Jawa Barat). Peristiwa tersebut menyeret keterlibatan seorang politikus ternama asal Negeri Pontianak-Borneo Barat, bernama Sultan Hamid II yang dituduh sebagai “pemimpin dan/atau pengatur” pemberontakan tersebut.
Tak pelak lagi, Sultan Pontianak terakhir ini pun pada tanggal 5 April 1950 ditangkap. Tuduhan yang dialamatkan kepada Sultan Hamid II, yaitu keterlibatannya (keterkaitannya) dengan pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) atau de RAPI (Ratu Adil Persatuan Indonesia) yang dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling di Bandung pada tanggal 23 Januari 1950, serta mempunyai “niatan” untuk menyerbu sidang Dewan Menteri RIS (Republik Indonesia Serikat) yang niat tersebut kemudian beliau batalkan.
Alih-alih tak terdapat sebuah fakta yang membuktikan tuduhan kepadanya di pengadilan, Sultan Hamid II tetap saja divonis bersalah dengan ganjaran hukuman 10 tahun penjara (dipotong masa tahanan 3 tahun)./ Bersambung
Sumber :
Kliping Hanafi Mohan yang pertama kali dimuat dimuat di Harian Equator secara bersambung, dengan judul utama: “Pemulihan Nama Baik Sultan Hamid II”, dengan Sub Judul: 1) “Tesis Anshari Dimyati yang Teruji” (dimuat pada hari Senin, 30 Januari 2012) dan 2) “Tak Terbukti Bersalah di Mata Hukum” (dimuat pada hari Rabu, 1 Februari 2012).