WWW.SUARAKALTIM.COM– Peran ulama di tanah air telah signifikan sejak lama. ‘Ulama’ adalah satu pengakuan dari umat akan bukan hanya karena ilmunya saja, tetapi juga karena kredibilitas, konsistensi dan perjuangannya. Aceh, adalah salah satu episentrum perjuangan ulama yang tak habisnya memberi hikmah. Salah satunya adalah Teungku Chik di Tiro, ulama yang diakui keilmuan dan konsistensinya memperjuangkan Islam di masa-masa Perang Aceh.
Traktat Sumatera tahun 1871 adalah awal dari satu bencana di Aceh yang akan mengobarkan perang hebat selama lebih dari 40 tahun. Arogansi Belanda yang menolak kedaulatan Kesultanan Aceh lewat Traktat Sumatera berujung beberapa insiden yang terjadi di perairan Aceh. Satu jalan perundingan yang diajukan Belanda dan permintaan untuk mengakui kedaulatan Belanda dijawab dengan penolakan tegas oleh Sultan Aceh. (Ibrahim Alfian: 2016)
Penolakan Sultan atas permintaan Belanda dianggap sebagai satu deklarasi perang. Padahal sikap Sultan hanyalah merespon kesewenangan Belanda. Penolakan Sultan Aceh ini dianggap oleh Belanda yang diwakili F.N. Nieuwenhuyzen, sebagai deklarasi perang. Pada 26 Maret 1873, Belanda akhirnya mengumumkan pernyataan perang kepada Kesultanan Aceh. (Ibrahim Alfian: 2016)
Pada 31 Maret 1873, kapal perang Citadel van Antwerpen melepaskan meriam ke sebuah benteng di pantai Aceh. Perang Aceh pun pecah. Saat menginjakkan kaki di daratan Aceh, meski ditembak dengan 12 kali letusan Meriam, pasukan Belanda tetap mendarat di Aceh. Rencana yang dipimpin oleh Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler seakan tampak mudah. Mereka akan mendarat di muara sungai Aceh, kemudian menuju ke keraton tempat kediaman Sultan, serbu lalu kuasai. Sehingga Aceh akan mereka kuasai. (Paul van t’Veer: 1985)
Kala itu Kesultanan Aceh sudah melewati masa jayanya. Banyak daerah di sekitar pusat kekuasaan dikuasai oleh para penguasa lokal (Uleebalang). Uleebalang-uleebalang ini menjadi satu penguasa yang menguasai jalannya arus perdagangan. Sultan hanyalah satu kekuatan simbolik yang menyatukan Aceh. (Ibrahim Alfian: 2016)
Meski demikian, hal-hal seperti ini tak diketahui oleh Pasukan Belanda saat itu. Satu persoalan penting dari ekspedisi ini adalah sebenarnya tentara kolonial tak tahu apa-apa tentang Aceh. Gambaran Keraton Aceh beserta denahnya hanya mengandalkan satu Buku Saku Ekspedisi Aceh. (Paul van t’Veer: 1985)
Buku ini ternyata memberikan informasi yang bertabur kesalahan. Minimnya pengetahuan mereka tentang Aceh dan Kesultanannya ditandai dengan kesalahan mereka mengira bahwa Masjid Raya (sekarang Masjid Baiturrahman) adalah pusat Kesultanan Aceh. (Paul van t’Veer: 1985)
Serbuan pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Kohler ini berujung petaka. Setelah beberapa hari berperang, pasukan Belanda dapat menguasai Masjid Raya Kutaraja. Tetapi Masjid ini pun akhirnya mereka tinggalkan. Pada 14 April 1873, Pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal Kohler kembali merangsek menguasai Masjid Raya. Kedatangan Pasukan Kohler disambut teriakan pejuang aceh yang mengerikan, kumandang kalimat la ilaaha illallah bergema dan peluru yang menyalak dari senapan-senapan mereka. (Ibrahim Alfian: 2016)
Satu peluru menembus dada Jenderal Kohler membuat pasukan penjajah memilih mundur dan tiga hari kemudian mereka mengundurkan diri ke pantai. Pada 23 April 1873 mereka angkat kaki dari Aceh. Mewariskan 45 mayat tentara mereka (termasuk 8 opsir) serta 405 orang luka. (Ibrahim Alfian: 2016)
Kekalahan ini disambut duka di Belanda. Jenderal Kohler ditangisi oleh Kerajaan Belanda. Namun Pemerintah Kolonial Belanda tidak menyerah. Enam bulan kemudian, ekspedisi kedua dikirimkan ke Aceh. Kali ini lebih besar dan massif dari yang pertama. Belanda memberangkatkan Angkatan Laut dan Daratnya dengan kekuatan dua kali lipat dari ekspedisi pertama. (Paul van t’Veer: 1985)
Sebanyak 18 kapal perang bertenaga uap, 7 kapal uap Angkatan Laut, 12 barkas, 2 kapal peronda yang dipersenjatai, 22 kapal pengangkut dengan alat-alat pendarat dipimpin Letnan Jenderal Johannes Van Swieten menerobos kembali. Target mereka tetap sama. Penguasaan pusat Kesultanan Aceh. Strategi menguasai pusat kekuasaan termasuk menaklukkan Sultan Aceh dalam pikiran pemerintah kolonial berarti jatuhnya Aceh ke tangan mereka. (Ibrahim Alfian: 2016 dan Paul van t’Veer: 1985)
Pasukan Belanda kemudian mendarat di Kampung Leu’u, dekat Kuala Gieng, Aceh Besar pada 9 Desember 1873. Persiapan yang lebih baik membawa pasukan Belanda pada satu keunggulan. Perlawanan yang dipimpin oleh Tuanku Hasyim, keluarga dari Sultan Aceh, Imam Lueng Bata dan T. Nanta Setia, tak mampu menghalau mereka.
Masjid Raya kemudian jatuh ke tangan Belanda pada 6 Januari 1874. Setelah bertempur hampir dua bulan, pada 24 Januari 1874 Belanda akhirnya dapat menguasai ‘Dalam’ atau Keraton. Mereka kemudian menghentikan agresinya dan berharap dapat membuat persetujuan dengan Sultan Aceh. Namun 5 hari kemudian, Sultan Aceh Mahmud Syah wafat. (Ibrahim Alfian: 2016).
BACA JUGA : Fadli Zon Sebut Pembebasan Abu Bakar Baasyir Jadi Mainan Politik
Wafatnya Sultan Aceh membuat pemerintah kolonial merevisi taktik mereka. Mereka tak lagi berharap penerus Sultan mau bekerja sama. Mereka mengabaikan Putra Mahkota Sultan yang nantinya diwakili Mangkubumi, Habib Abdurrahman Az-Zahir. Van Swieten pun memilih untuk menjalankan sendiri otoritas di Aceh. Rencana ini akhirnya membentuk wilayah administratif Aceh Besar (Groot Atjeh) yang merupakan bekas pusat kekuasaan Kesultanan Aceh. (Martijn Kitzen: 2012)
Wilayah di luar Aceh Besar disebut Onderhoorigheden (Depencies/Ketergantungan). Wilayah ini berupa wilayah pesisir negeri-negeri kecil yang dikuasai penguasa lokal Uleebalang yang tak terlalu terikat pada Sultan. Tentu saja hanya sebagian Uleebalang di pesisir Aceh ini yang mau menerima Belanda.
Sebagian lainnya, menolak kehadiran Belanda. Dinamika ini akan membuat Pemerintah Kolonial semakin sulit bergerak ketika pengaruh ulama yang sebelumnya tidak diperhitungkan, semakin membesar. Di sinilah kehadiran ulama menggelorakan jihad fi Sabilillah melawan Belanda membuat rakyat Aceh memberikan perlawanan hebat terhadap Belanda.
BACA LANJUTANNYA : Peranan Teungku Chik di Tiro