Salah satunya adalah Teungku Chik di Tiro. Peranannya dalam perang Aceh, khususnya tahun 1874 hingga 1891 tak dapat dikesampingkan. Nama besar keluarga Di Tiro dimulai dari Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut. Seorang ulama yang memimpin Dayah Tiro. Dayah ini terletak di Gampong Tiro, di kiri dan kanan Sungai Pidie. Pidie telah lama menjadi satu pusat Pendidikan Islam di Aceh. Rakyat Aceh mengirimkan anak-anak mereka ke Pidie agar mendapatkan Pendidikan Islam.
Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin kemudian menyerukan agar orang-orang Pidie melakukan perang Sabil ke Aceh besar. Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin pun mengangkat salah satu anggota keluarganya, yaitu Syaikh Muhammad Saman sebagai tangan kanannya untuk membantu mengerahkan rakyat berperang sabil melawan Belanda. (Paul van t’Veer: 1985)
Kelak, keputusan mengangkat Syaikh Muhammad Saman ini menjadi keputusan yang tepat. Pasca wafatnya Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin, Syaikh Muhammad Saman menjadi penggantinya dan dikenal sebagai Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman. Ayah Muhammad Saman adalah Teungku Syekh Abdullah dari Kampung Garot. Ibunya adalah Sitti Aisyah, kakak dari Teungku Muhammad Amin Dayah Cut. (Ismail Jakub: 1960)
Kepemimpinan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman sebagai ulama menjadi satu kedudukan penting di masyarakat Aceh. Bersama Sultan, dan Tuanku Hasyim, ia sangat berpengaruh di rakyat Aceh untuk menggelorakan jihad fi sabilllah. (Ibrahim Alfian: 2016)
Jadi Buronan Belanda
Pengaruh Teungku Chik di Tiro semakin meningkat sejak tahun 1882. Hal ini dapat dilihat dari satu instruksi rahasia oleh pemerintah Hindia Belanda yang memerintahkan Gubernur Jenderal Aceh untuk memberi hadiah bagi orang yang sanggup menyerahkan pemuka Aceh seperti Teungku Chik di Tiro, hidup atau mati, sebesar 1000 dollar. (Paul van t’Veer: 1985)
Apa yang menyebabkan Belanda begitu bernafsu menghabisi Teungku Chik di Tiro? Hal ini karena begitu efektif dan masifnya dakwah Teungku Chik di Tiro. Lewat kenduri-kenduri, ia menyebarluaskan ajakan perang sabil dan memerangi kaphe (kaum kuffar), red. Lewat kenduri pula ia memperoleh berbagai informasi. (Ibrahim Alfian: 2016)
Dakwah Teungku Chik di Tiro bukan menyasar rakyat jelata Aceh saja, tetapi juga mengingatkan para uleebalang dan keuchik yang telah berpaling kepada Belanda agar kembali ke jalan perang sabil. Penyampaian surat-surat ini biasanya didelegasikan kepada para pemimpin agama seperti Teungku Polem di Njong, Teungku Awe Geutah di Peusangan, dan lainnya.
Salah satunya adalah suratnya kepada semua uleebalang, Imum, wakil, keuchik termasuk Teuku Baid, uleebalang dari Tujuh Mukim. Teungku Chik di Tiro Muhammad dalam suratnya mengajak para pemimpin itu dengan surah Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:
“Hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada makruf dan mencegah dari yang munkar.”
Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman kemudian melanjutkan:
“Hai Teuku Baid yang hulubalang Tujuh Mukim itu tiada ayak kami bahwasanya tuan-tuan itu setengah daripada hulubalang Raja Aceh dan imam kami Muslimin, padahal hanya dipertanggung oleh Allah Ta’ala pada Negeri Tujuh Mukim seperti timbangan Syar’i yang betul dan dipenyata akan tuan dalil yang nyata Qur’an dan Hadith dan Kitab. Jika tuan berbuat adil pada hukum maka beroleh pahala akan diri tuan dan akan kami ikut tuan dan jika tuan fasiq dan tuan zalim tiada tuan ikut seperti syari’at maka yang di kami Insya Allah beroleh pahala dan yang melarat itu atas tuan sahaja maka takut olehmu hai Teuku Baid bahwa di-peulamah [diperlihatkan] oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat di hadapan raja-raja orang Islam jadi engkau sehina-hina manusia dan serugi-ruginya manusia.” (Ibrahim Alfian: 2016)
Pada akhirnya Teungku Chik di Tiro meminta T. Baid agar mengikuti Allah dan Rasul-Nya seta mengikut kaum muslimin dan memintanya agar membuat benteng-benteng untuk menghadapi Belanda.
Peringatan Teungku Chik di Tiro
Kepada Teuku Nek Meuraksa ia mengawali suratnya dengan menyebut dirinya seorang ‘fakir’ dan bernama”…Haji Syeh Saman Tiro, seorang hamba yang berjihad pada jalan Allah di dalam negeri Aceh dar as salam wal aman.” (H.C. Zentgraaff: 1983)
Ia mengingatkan pada mereka agar takut kepada Allah. “Allah! Allah! Takutilah Allah dan janganlah tuan-tuan meninggal sebelum menjadi orang-orang yang beriman.”
BACA JUGA :
Ijtima Ulama II Sepakat Dukung Prabowo di Pilpres 2019
Ijtima Ulama ke-II Hasilkan Sejumlah Komitmen
“Janganlah tuan-tuan sampai tertipu oleh kekuasaan kaum kafir, dengan harta mereka, dengan persenjataan-persenjataan mereka serta serdadu-serdadu mereka yang baik dibandingkan dengan kekuatan kita, milik-milik kita, persenjataan-persenjataan kita dan kaum muslimin, karena tidak ada yang berkuasa, yang kaya dan tidak ada yang memiliki balatentara yang terbaik selain Allah S.w.t. Yang Mahakuasa dan tidak ada yang dapat memberikan kekalahan dan kemenangan selain Allah S.w.t Rabbal ‘alamin.” (H.C. Zentgraaff: 1983)
Kenyataannya, himbauan Teungku Chik di Tiro bukan saja pada kaum Muslimin di wilayah yang belum dikuasai Belanda. Pada wilayah yang telah dikuasai pun ia terus mengingatkan. Pertama, bahwa telah diwahyukan tanda-tanda kemenangan dengan mundurnya orang-orang kafir. Kedua, mereka yang berada di daerah pendudukan yang seagama hendaklah meninggikan agama Islam, berbuat baik, mencegah hal-hal yang munkar dan memerangi orang-orang kafir. (Ibrahim Alfian: 2016)
BACA JUGA :
5 Ulama Terkenal yang Dipenjara Era Bin Salman
Ketiga, Imam Mahdi telah lahir di Sudan dan sedang memerangi musuh-musuhnya. Keempat, orang-orang yang telah dengan buktinya yang nyata membelot, hendaknya diperangi, sementara kaum Muslimin yang berada di daerah yang diduduki Belanda supaya benar-benar menjadi saudara kaum Muslimin dan hendaklah bermusyawarah, bermufakat dalam hal menguatkan agama dan membunuh mereka, merampok dan menjarah harta mereka, menipu dan mendustakan mereka dengan sekuat tenaga yang ada. Kelima, dengan izin Allah, orang-orang kafir akan dikalahkan dan melarang kaum muslimin untuk bersikap ragu, karena kaum yang meragu bukan bagian dari kaum muslimin.(Ibrahim Alfian: 2016)
Nasihat Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman ini bahkan bukan hanya ditujukan pada kaum Muslimin, tetapi pada orang-orang Belanda. Beliau mengirim surat pada penguasa Belanda di Kutaraja. Pada tahun 1885, atau 12 tahun setelah pecahnya perang, Syaikh Saman dengan percaya diri menulis surat pada Residen Belanda di Kutaraja. Dalam surat itu ia menyatakan;
“Jika boleh tuan-tuan masuk agama Islam dan menurut syari’at nabi itulah yang terlebih baik atau tuan-tuan sejahtera dunia dengan tiada aib keji lari pontang-panting tiap-tiap sawah, selokan, hutan dan jalan dan yang terlebih jahat lagi itu siksa akhirat, dalam neraka jahanam dengan hukum Tuhan yang amat kuasa maka jika tuan-tuan masuk Islam sama-sama orang Aceh maka kami harap kepada Tuhan seru sekalian alam terpelihara daripada nyawong [nyawa] dan darah dan [h]arta dan megah dan terpelihara daripada aib keji tangkap dibawa ke mana-mana atau terbunuh dengan kehinaan barangkali jika tuan-tuan dengar dan turut seperti nasihat kami ini dapat untung baik dapat kemegahan jadi tuan akan kepala kami dan dapat harta.” (Ibrahim Alfian: 2016)
Surat ini tak ditanggapi pejabat Belanda. Tiga tahun kemudian Teungku Chik di Tiro mengirimkan kembali surat peringatan kepada Belanda seraya mengingatkan bahwa Belanda sudah sekitar 16 tahun memerangi negeri Aceh, dan yang mereka dapatkan hanya uang kompeni yang habis, pedagang yang miskin, dan rakyat Aceh yang syahid serta kampung-kampung yang binasa.
Ia bertanya tidakkah Belanda memikirkan semua akibat itu. Sekali lagi ia mengajak Belanda untuk masuk Islam. “Tuan Besar masuk agama Islam mengucap dua kalimah syahadat. Insya Allah sampailah tuan dunia akhirat, sempurna dunia dapat kerajaan [memerintah] dengan senang, boleh tuan Besar perintah atas Negeri Aceh ini…”(Ibrahim Alfian: 2016)
Surat Teungku Chik di Tiro sendiri akhirnya dibalas oleh Gubernur Sipil dan Militer di Aceh, Hendri Karel Frederik van Tejin. Van Tejin mengakui bahwa ia ingin perang segera berakhir karena banyaknya korban dan kehancuran. Ia berharap Teungku Chik di Tiro dapat membina kesejahteraan rakyat Aceh. Namun ia menolak menyambut ajakan masuk Islam, sebab menurutnya Belanda tidak melakukan perang agama di Aceh. Ia malah berharap bertemu dengan Teungku Chik di Tiro. (Ibrahim Alfian: 2016)
Balasan van Tejin ditolak Teungku Chik di Tiro. Dengan tegas ia mengatakan bahwa tidak mungkin ada perdamaian selama orang kafir masih di negeri Aceh. Menteri Jajahan Belanda, Levinus Keuchenius turut bereaksi atas ajakan masuk Islam ulama besar Aceh tersebut. Ia memerintahkan agar Van Tejin menjawab ajakan itu dengan mengutip surat Al-Baqarah 257 yang menyebutkan tak ada paksaan dalam agama Islam. Sekali lagi, Ia mengatakan bahwa pemerintah Belanda menginginkan adanya keadilan, kedamaian dan kesejahteraan di Aceh. (Ibrahim Alfian: 2016)
Teungku Chik di Tiro menolak jawaban pemerintah Belanda ini. Pada 24 April 1889, ia menjawab lewat surat bahwa jawaban bahwa Belanda menignginkan kedamaian tidaklah masuk akal. Ia bahkan mengibaratkan hal itu bertolak belakang seperti siang dan malam, matahari dan bulan, munafik dengan mukmin. Ia kemudian menjawab bahwa ia berharap pada Allah Belanda akan binasa. (Ibrahim Alfian: 2016).
BACA SELANJUTNYA : Arsitek Jihat di Aceh
BACA SEBELUMNYA :Teungku Chik di Tiro, Pewaris Tiga Generasi Pengobar Perang Sabil (1)