Penulis: Miftahul Ihsan, Lc
– Setiap memasuki bulan Dzulhijjah perdebatan tentang kapan puasa Arafah dan kapan sholat Idul Adha terus mengemuka. Apalagi di era sosial media hari ini. Semua orang bisa mengakses sumber informasi dari manapun, termasuk perdebatan-perdebatan fikih yang ada. Seperti yang terjadi tahun ini. Apakah puasa Arafah pada hari Senin (20 Agustus) atau hari Selasa (21 Agustus).
Setidaknya dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah pendapat yang mengatakan bahwa masing-masing daerah, atau daerah yang berdekatan memiliki mathla’ (tempat terbitnya hilal) masing-masing. Sehingga mungkin sekali terjadi perbedaan penanggalan antara satu negara dengan negara yang lainnya.
Pendapat ini adalah pendapat yang mu’tamad dalam mazhab Syafi’I. Imam An-Nawawi berkata :
إذا رأوا الهلال في رمضان في بلد ولم يرَوْه في غيره، فإنْ تقارَب البلدان فحكمهما حكم بلد واحد، ويلزم أهلَ البلد الآخر الصومُ بلا خلاف، وإن تباعدا فوجهان مشهوران في الطريقتين، أصحهما: لا يجب الصوم على أهل البلد الأخرى
Artinya, “Jika mereka melihat hilal Ramadhan di satu daerah, sementara di daerah lain tidak terlihat, jika saling berdekatan, maka daerah-daerah yang berdekatan tersebut hukumnya sama, maka wajib bagi penduduk daerah lain (yang tidak melihat hilal, namun berdekatan) untuk berpuasa Ramadhan. Jika daerahnya berjauhan, maka ada dua cara yang masyhru dalam mazhab, yang paling shahih adalah tidak wajinya puasa atas penduduk daerah yang berjauhan.” (Al-Majmu 6/280-281)
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa daerah yang berjauhan, seperti Indonesia dan Arab Saudi, memiliki rukyah masing-masing di setiap daerahnya. Rukyah Indonesia untuk Indonesia sedangkan Rukyah Saudi untuk Saudi. Berdasarkan nukilan di atas, rukyah Indonesia bisa berlaku untuk penduduk Malasiya karena adanya kedekatan teritorial.
Pendapat berikutnya adalah pendapat dari Hanafiyah dan sebagian Hanabilah bahwa rukyah hilal itu bersifat internasional (wihdatul matla’), rukyah bagi satu daerah berlaku untuk daerah yang lain meskipun berjauhan.
وإذا ثبت في مصرٍ لزم سائرَ الناس، فيلزم أهل المشرق برؤية أهل المغرب، في ظاهر المذهب
Artinya, “Jika hilal sudah terlihat di suatu daerah, maka wajib bagi semua orang mengikutinya. Sehingga bagi penduduk timur wajib berpuasa menggunakan rukyah penduduk barat. Ini zahir dari mazhab(Hanafi). “ (Fathul Qadir Ibnul Hammam 2/243)
Perbedaan ini sudah maklum di kalangan para ulama dari zaman dahulu hingga sekarang. Ini adalah permasalahan ijtihadiyah yang masing-masing ulama memiliki dalil dan cara pengambilan kesimpulan dari dalil yang ada.
Secara umum, perbedaan ulama terkait dengan penentuan awal bulan Hijriah kembali kepada perbedaan wihdatul mathla’ (rukyah internasional) dan ikhtilaful matholi’ (rukyah lokal). Namun, ada instrumen tambahan dalam puasa Arafah dan Idul Adha yang membuat perbedaan pendapat lainnya.
Yaitu, argumentasi bahwa puasa Arafah adalah puasa di mana orang-orang wukuf di Arafah dan rangkaian ibadah Idul Adha erat kaitannya dengan peristiwa haji. Sehingga penentuan puasa Arafah dan Idul Adha harus mengikuti penanggalan haji.
Pendapat ini dimuat dalam fatwa Lajnah Daimah (Komisi Tetap Dewan Fatwa Arab Saudi). Ketika ditanyakan tentang perbedaan rukyah antara Saudi dan daerah lain, maka lajnah Daimah menjawab :
يوم عرفة هو اليوم الذي يقف الناس فيه بعرفة، وصومه مشروع لغير من تلبس بالحج
Artinya, “Hari Arafah adalah hari di mana orang-orang melakukan wukuf di Arafah. Dan berpuasa pada hari Arafah adalah masyru’ bagi mereka yang tidak sedang melakukan ibadah haji.” (Fatwa Lajnah Daimah no 4052)
Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin. Ketika ditanyakan perihal yang sama, beliau menjawab :
Perkara ini kembali kepada perbedaan pendapat dalam masalah apakah satu rukyah hilal itu berlaku untuk seluruh dunia atau berbeda berdasarkan tempat? Dan yang kuat adalah hilal itu berbeda berdasarkan perbedaan daerah. (Majmu Fatawa Syaikh Utsaimin Juz 20, nomor 405)
Pendapat syaikh Utsaimin ini didukung dengan fakta bahwa puasa Arafah lebih dahulu disyariatkan dari Ibadah haji yang ada wukuf di dalamnya. Dan Nabi Muhammad SAW hanya berhaji satu kali seumur hidup.
Sekali lagi penulis tekankan bahwa, kedua perbedaan yang diulas di atas adalah perbedaan yang bersifat ijtihadiyah. Perbedaan ini sudah maklum di kalangan ulama dan penuntut ilmu. Dan masing-masing dari mereka menghormati pendapat yang lain tanpa harus saling menyematkan sifat-sifat negatif kepada yang lain. Meskipun penulis sarankan kepada pembaca agar melaksaaan Idul Adha bersamaan dengan masyarakat setempat karena lebih hikmah dan dekat kepada dalil.
Kepada umat yang awam, penulis sarankan untuk mengikuti ulama atau ustadz yang mereka tsiqoh dan percaya terhadap kualitas keilmuan dan ketakwaannya sehingga kegaduhan tentang kapan Idul Adha, Rabu atau Selasa bisa tereduksi. Jangan bimbang dan terombang-ambing oleh klaim sebagian netizen yang belajar Islam hanya dari Socmed, bahwa yang sah adalah pilihannya. Selain itu, tidak sah.
Baik puasa Arafah di tanggal 20 Agustus 2018 (Senin) atau 21 Agustus 2018 (Selasa) atau yang melaksanakan Idul Adha pada Tanggal 21 Agustus (Selasa) atau 22 Agustus (Rabu), masing-masing memiliki pijakan dalil dan mengikuti para ulama. Sama-sama sah!
Wallahu a’lam bissowab.