Tiras terakhir harian Warta Bhakti yang dipimpinnya mencapai angka 100 ribu eksemplar dengan volume terbit tiga kali sehari. Karim mengenangkan itu semua pada senja usia dari rumah di komplek Radio Republik Indonesia No. 35 Tanjung Duren Selatan, Jakarta. Rumah tersebut adalah rumah dinas jatah anaknya yang dibangun dengan jerih payah istrinya sewaktu Karim dipenjara.
A. Karim DP, Mantan Ketua PWI Yang Terlupakan
Karim menyimpan baik-baik semua kenangan tersebut dengan bangga. Sekecil apapun kebanggaan atas apa yang dicapainya di masa lalu, menjadi penting baginya untuk merawat harga dirinya sebagai manusia. Karenanya, dia kini tak segan lagi untuk menggugat perampasan rumah pribadinya di jalan Otto Iskandar Dinana yang sampai sekarang masih diklaim sebagai milik seorang perwira militer dari Komando Daerah Militer Jakarta.
Melewati usia 74 pada 29 Mei lalu, dia mengurus sendiri semua gugatan ke militer Jakarta. Dengan tas kulit imitasi dia masih sanggup naik turun mikrolet dan bus umum sendirian. Meski dua orang anaknya sudah mapan dalam bidang kerjanya masing-masing, dia tak mau merepotkan anaknya dengan urusan itu. Kini, sambil tetap menulis buku atau artikel, dia masih berjuang untuk merebut kembali hak atas rumahnya. Ini dilakukannya lebih karena harga diri dan kebenaran yang diyakininya.
SEBUAH rumah besar di kawasan mahal Taman Patra Kuningan adalah tempat tinggal Siti Latifah Herawati Diah. Tiga orang anaknya sudah mandiri dan sukses dalam dunia masing-masing.
Herawati memasuki usianya yang ke-84 pada 3 April lalu. Herawati juga masih sering memakai kebaya dan sering terlihat menghadiri rapat-rapat di Komisi Nasional Perempuan. Selain itu dia juga bergabung dengan beberapa ibu-ibu penggemar olahraga bridge yang setiap minggu bergiliran main di rumah para anggotanya. Di perkumpulan ini usia rata-rata anggotanya di atas 70 tahun. Mereka rata-rata fasih bicara bahasa Belanda atau Bahasa Inggris atau keduanya.
Herawati dikenal sebagai pendiri harian berbahasa Inggris Indonesian Observer pada 1955. Namun harian itu sudah dijualnya dan sejak Juni ini berhenti terbit. Bersama seorang sekretarisnya, Herawati kini mengatur segala jadwal pekerjaan sehari-harinya dari rumahnya di Taman Patra X/10, Kuningan, Jakarta.
Nampaknya gangguan osteoporosis telah memaksanya untuk mengurangi aktivitas fisiknya. dia menjadi anggota klub Pusat Kesehatan Olahraga dr. Sadoso di Senayan. Klub ini diperuntukkan bagi penderita osteoporosis. Biasanya setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu, jam enam pagi Herawati sudah sampai di Senayan untuk mengikuti program klub osteoporosis tersebut.
Herawati memasuki karir jurnalistik sebagai stringer United Press International pada usia 22 tahun. Pada masa pendudukan Jepang dia menikah dengan B.M. Diah dari harian Merdeka.
Perkawinan mereka pernah retak karena BM. Diah mempunyai istri lagi. Namun di sisi lain, Herawati juga sedih ketika “penanda terpenting” dalam kehidupan perkawinan mereka, harian Merdeka harus mati suri beberapa saat lalu.
Kini mungkin dia bisa sedikit tersenyum lega, karena pembenahan manajemen Merdeka diharapkannya bisa membuat siuman harian tersebut. Tapi Herawati sebagai orang media tahu betul bahwa bisnis media tak sesederhana dulu lagi. Suratkabar baru lahir seperti jamur di musim hujan. Dia tetap berharap-harap cemas.
S.K. Trimurti, Soebagijo IN., serta wartawan tua lain, adalah manusia yang satu persatu melukis senja harinya dengan warna kenangan yang dipilihnya sendiri. Mereka menghabiskan sebagian besar usianya sebagai pencatat peristiwa dan sejarah Indonesia, yang pada porsinya juga jadi catatan panjang sejarah jurnalisme dan media di Indonesia.*