Wakil Chairman Siloam Heart Institute (SHI) dr. Antono Sutandar mengatakan, Atrial Fibrilasi (AF) merupakan kelainan irama jantung kamar atas (atrium) yang umum terjadi di Indonesia. Salah satu gejala AF yang paling mudah dikenali adalah detak jantung yang tidak teratur.
“Detak jantung ini bisa cepat, lambat, atau kombinasi cepat dan lambat. Jika AF itu cepat dapat disertai dengan keluhan gagal jantung, seperti sesak napas dan cepat lelah. Jika lambat disertai dengan keluhan seperti mau pingsan dan kehilangan kesadaran sementara,” ujar Antono kepada wartawan di Siloam Hospitals Kebon Jeruk (SHKJ), Jakarta, Kamis (1/2).
Pencetus kelainan irama jantung dapat berupa kelainan tiroid; kelainan atrium yang membesar akibat hipertensi, kelainan katup jantung, atau jantung yang lemah; dan sebagian kecil disebabkan oleh kelainan genetik.
Prevalensi pasien AF semakin meningkat seiring bertambahnya usia. Usia di atas 75-80 tahun dengan prevalensi 10-15%. Baik AF yang terus menerus (Persistent AF) dan/ atau AF yang hilang timbul (Paroxysmal AF) disertai dengan risiko stroke yang meningkat.
Risiko stroke akan meningkat jika penderita ada keluhan gagal jantung, hipertensi, diabetes; berusia lanjut di atas 75 tahun; memiliki sejarah stroke sebelumnya; dan ada penyempitan pembuluh darah otak, jantung, atau kaki.
“Sementara itu, Penyakit Jantung Koroner (PJK) disebabkan oleh penyempitan/ penyumbatan pembuluh darah koroner jantung yang membuat jantung kekurangan oksigen dan nutrisi untuk memompa darah,” ujarnya.
Penyempitan atau penyumbatan ini, kata dia, terjadi karena adanya proses penumpukan lemak di dinding pembuluh darah yang berlangsung secara bertahap. Keluhan penderita penyakit jantung koroner bervariasi umumnya berupa nyeri dada yang dirasakan di daerah bawah tulang dada agak ke sebelah kiri dengan rasa seperti beban berat, ditusuk-tusuk, rasa terbakar yang kadang menjalar ke rahang, lengan kiri, dan ke belakang punggung, serta disertai keringat yang banyak.
Sementara itu, dr. Maizul Anwar, SpBTKV yang merupakan chairman SHI mengatakan awalnya, kateterisasi dilakukan untuk mengetahui keadaan pembuluh otot jantung, ruang jantung, ukuran tekanan dalam jantung, dan pembuluh darah otot jantung dengan menggunakan selang kecil (kateter) dan sinar X di ruang kateterisasi (cath lab). Selanjutnya, melalui kateter yang sama dapat dilakukan pemasangan stent atau Percutaneous Coronary Intervention (PCI) untuk melebarkan penyempitan pembuluh darah koroner jantung. Stent memiliki diameter 2-4 milimeter yang elastis untuk disesuaikan dengan bentuk pembuluh darah koroner. Jumlah stent yang dipasang bergantung pada kondisi penyempitan pembuluh darah pasien.
”Pada kondisi pasien tertentu, operasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG) lebih dianjurkan untuk membuat pembuluh darah baru dari aorta (pembuluh nadi besar) melewati pembuluh darah koroner yang menyempit sehingga otot-otot jantung mendapat pasokan darah yang cukup untuk kebutuhan kerja jantung,” demikian Maizul. sk-10/RMOL.com/sumber foto dinimon.com