www.suarakaltim.com – Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) hingga kini masih menjadi perdebatan. Sebab, melalui RUU P-KS rentan terjadi kriminalisasi. Dalam hal ini, Kiblat.net mewawancarai Pakar Hukum Pidana, Suparji Ahmad. Berikut wawancaranya:
Menurut anda, RUU P-KS apakah diperlukan?
Sampai sejauh ini saya belum mendapat alasan yang filosofis, yuridis dan sosiologis terhadap Undang-Undang P-KS. Meskipun para penyusun, para penggiat itu memiliki rasionalisasi banyaknya kekerasan seksual yang kemudian mengorbankan perempuan, mengorbankan wanita sehingga perlu mendapatkan perlindungan.
Oleh karena itu bagi para inisiator itu harus meyakinkan kepada publik, apakah regulasi yang ada pada saat ini belum bisa mengatasi tentang itu. Nah, kalau belum bisa, apakah solusinya harus dengan sebuah undang-undang.
Jadi, saya dalam pandangan pribadi masih berpendapat bahwa itu belum terlalu memiliki landasan-landasan yang mendasar. Karena bisa lewat regulasi lain
Regulasi lain misalnya?
Misalnya kalau mau memasukkan, tuangkan saja dalam KUHP. Ini juga belum selesai. bikin undang-undang tukan butuh waktu, butuh biaya, butuh energi. Pun kalau kemudian ujung-ujungnya itu hanya daftar-daftar yang ada dalam undang-undang dan nanti diuji di MK kan sayang sekali.
Jadi masukan regulasi itu, lalu kemudian pasal-pasal perzinaan, kekerasan seksual itu juga bisa saja kalo kita masukkan sempurnakan. Kalau dalam satu rumah tangga, ada kekerasan dalam rumah tangga.
Benarkah dalam RUU ini rentan kriminalisasi?
Pasal-pasal ini memang menimbulkan multitafsir, berpotensi terjadi kriminalisasi. UU ITE yang begitu leluasa itu begitu dipermainkan dan kalau ini juga dibuat sangat berpeluang terjadi kriminalisasi. Ada potensi dalam pasal itu melegalkan perilaku LGBT, dan akan menentang fitroh sebagai seorang perempuan.
misalnya adalah salah satu norma yang mengatakan bahwa bila pemerkosaan adalah jika melakukan satu hubungan suami-istri tanpa persetujuan. Nah padahal akad/persetujuan suami-istri itukan sudah selamanya, kenapa kemudian setiap sesuatu melakukan hubungan suami istri tanpa persetujuan bisa dikatakan pemerkosaan. Jadi ini rentan sekali.
Apakah selama ini payung hukum yang ada kurang dalam menyikapi kekerasan seksual?
Menurut saya ada (Undang-undang.red) misalnya kalau undang-undang di rumah tangga, ada undang KDRT. Penganiayaan ada Undang-undang KUHP tentang penganiayaan. Jadi sudah cukup regulasi-regulasi itu, kalau kemudian berkaitan dengan tindakan-tindakan pornografi, ada UU pornoaksi dan pornografi. Pornoaksi kalau kemudian ada persoalan diskriminasi ada undang-undang diskriminasi Ras, Etnis dan sebagainya.
Jadi menurut saya undang-undang itu saja yang perlu di optimalisasi. Kalau semuanya dikeluarkan dalam undang-undang dengan multitafsir itukan bahaya.
Ada pihak yang menganggap bahwa RUU justru tidak mengatur tentang kejahatan seksual?
Itu kan berarti kelemahan dari undang-undang. Padahal itu kenyataan yang ada di masyarakat, mestinya itu yang direspon oleh RUU ini. Jadi membuat undang-undang itu harus aspiratif, harus responsif, harus obyektif. Undang-undang itu bukan hanya berlaku untuk satu golongan, berlaku universal. Jadi jangan hanya berfikir soal perempuan, tetapi bagaimana itu perspektifnya secara keseluruhan.
Dan juga harus pikirkan bagaimana implimentasinya, bagaimana budaya hukumnya, bagaimana budaya aparat penegak hukumnya, supaya kemudian tidak menimbulkan masalah.
Ada pasal yang mengatur pemaksaan pelacuran. Kalau kemudian tidak dipaksa apakah ini menyebabkan pelacuran menjadi legal?
Kalau kemudian ada potensi seperti itu, legalisasi atau kemudian legitimasi pelacuran jadi bahaya, tidak boleh menurut saya. Pelacuran ya melalui ITE saja sudah cukup. Misalnya membuat satu informasi elektronik yanng bernada kesusilaan, undang-undang ITE juga sudah cukup. Jadi semakin banyak undang-undang akan semakin susah penegakannya.
Tapi poin pentingnya adalah, Presiden Jokowi selalu mengatakan deregulasi, kurangi aturan, kurangi birokrasi, jangan banyak bikin aturan. Kan seperti itu semangatnya presiden. Maka jangan bikin undang-undang yang tidak perlu, yang kemudian itu akan menjadi masalah di kemudian hari. Jadi ini ujian juga bagi Jokowi, untuk secara konsisten tentang bagaimana menerapkan kebijakan deregulasi itu.
RUU ini juga dianggap bertentangan dengan agama, kalau menurut anda?
Saya secara umum mengatakan itu bertentangan dengan norma agama kita. Hubungan suami terhadap istri itukan juga norma-norma agama. Kalau setiap hubungan suami-istri harus ada persetujuan ini bertentangan dengan norma agama.
Jadi memang banyak nilai-nilai feminisme, nilai-nilai liberalisasi yang kemudian mengangkat posisi perempuan supaya lebih mendapatkan posisi yang lebih terlindungi. Tetapi kemudian mengabaikan tentang nilai-nilai asasi kewanitaan. Itu yang tidak diperhatikan, nilai-nilai fitroh kewanitaan itu yang tidak diperhatikan. KIBLAT.net