Catatan : Jay
BIKIN kopi lagi.
Kopinya buat menemani. Mau bikin tulisan lanjutan terkait judul di atas. Tulisan pertama, bikinnya di warung sebelum Salat Jumat. Rencana, setelah Salat Jumat, bikin lanjutan tulisannya.
Pulang salat Jumat, ketemu teman yang sempat baca tulisan melalui facebook; “ Tulisannya Tugu Cacing? Kok gak nyambung dengan isi tulisannya?,’’ suaranya sambil tertawa.
“Supaya nyambung, makanya ada sambungannya,’’ kata saya. Sambil tertawa juga.
Baik Di bagian pertama, rasa kopinya mungkin agak manis. Di tulisan bagian ketua ini, rasanya sedikit pahit. Karena tulisannya sedikit panjang, maka tulisannya dipotong 2 bagian. Tulisan bagian pertama, pujian. Tulisan bagian ke 2, yang sedang anda baca dengan ponsel di tangan anda ini adalah : cibiran. Lawan dari pujian.
Di tulisan bagian pertama, bila Walikota Samarinda DR H Andi Harun membaca bisa besar kepalanya. Kalau mendengar, bisa kupingnya saja yang membesar.
Dan, untuk mengembalikan kepala atau kuping agar tidak terus besar kepala, makanya coba dibuat tulisan bagian ke 2.
Tulisannya akan dibuat pendek. Sekitar 1 halaman lebih. Dibaca paling kurang dari 5 menit. Tulisan pertama dibaca hanya 4,12 menit.
Baik. Bila anda atau teman-teman melintas di persimpangan Lembuswana, maka akan melihat sebuah … apa namanya, suatu benda berbentuk agar bundar. Warnanya pink, menurut warga. Tapi pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) kota Samarinda menyebut warnanya merah.
Benda itu lagi viral. Warga Samarinda ramai membicarakannya. Atau maaf, netizen malah mengolok-olok, yang kata pejabat terkait benda itu akan menjadi ikon baru kebanggan warga kota Samarinda
Namun nampaknya, bukan soal warna saja, bentuknya pun menjadi pembicaraan warga. Juga nilai proyeknya.
Proyek proyek di Samarinda, yang maaf kurang banyak saya sebutkan di tulisan bagian pertama, tidak banyak dibicarakan yang negatip. Namun, proyek di simpang Lembuswana itu sukses mendapat cibiran. Jauh dari pujian.
Pejabat PUPR Kota Samarinda menyebut itu Tugu Pesut Mahakam. Namun, lain lagi kata warga, yang diwakili netizen.
“Tugu Pesut? Mana pesutnya? Mungkin lagi berenang “ tulis seorang netizen Kaila Ailani Herman.
“Imajinasiku juga gak nyampe untuk mengerti itu model apa” komentar Nayaka Gunatama
“Itu dibuat pas pakai kaca mata hitamkah? “ komentar Lailatul Fadila.
“Itu karet gelang yg terputus” kata Uni Nada.
“Bukan itu cacing alaka” sanggah Krisdiyanto.
Dan banyak lagi komentar-komentar netizen yang berebeda. Ada yang menyebut itu logo aplikasi Opera, cacing kremi, mungkin melihatnya secara kasat mata, larva, cacing kepanasan, bentuk love yang belum selesai, bentuk abstrak dan banyak lagi komentar, yang saya sebut sebelumnya seakan cibiran.
Kabid Cipta Karya DPUPR Kota Samarinda Andriani Hanina mencoba meluruskan. Bahwa bentuk tugu tersebut memang dirancang sebagai siluet Pesut Mahakam.
“Menurut arsiteknya itu refresentasi siluet pesut,’’ jelas Andriani.
Lalu, anggarannya Rp, 1,1 milyar. Uang segitu bila dibikinkan rumah, pasti jadi rumah mewah, tipe ukuran besar. Bila dibelikan krupuk untuk makan, mungkin ratusan warga Samarinda bisa merasakan.
Kepada wartawan, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) PUPR Kota Samarinda Uwin Mursalim menjelaskan, Tugu Pesut itu dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2024 dengan total anggaran Rp. 1,1 milyar.
Tugu berwarna merah itu, kata Uwim, terbuat dari kontruksi baja berlapiskan kabel plastik daur ulang. Dibuat setinggi 8 meter. Selain, sebuah tugu, yang disebut Tugu Pesut, di sekitarnya ada lampu sorot, jalur pejalan kaki dan area hijau.
Uwin menjelaskan, semula ada tiga desain yang diajukan tim konsultan perencana.
“ Dari tiga desain itu, desain Tugu Pesut itu yang dipilih Pak Walikota,’’ kata Uwim.
Uwin juga menambahkan tugu penghargaan sebelumnya ada disimpan.
Jelas sudah. Tugu, yang disebut Tugu Pesut itu adalah selera Andi Harun, sebagai Walikota Samarinda. Namun sayangnya, selera walikota berbeda dengan selera banyak orang. Karena bentuknya yang tidak jelas, padahal memakan anggarannya Rp. 1,1 milyar.
Selera pribadi orang memang bisa berbeda beda. Terlepas soal itu, masyarakat seperti melihat atau adanya “arogan pribadi” seakan Samarinda milik pribadi. Menyangkut ikon sebuah kota, mungkin perlu mendiskusikan dengan banyak orang.
Masyarakat jadi menonton karena APBD besar, maka bebas menggunakan anggaran. Karena selera walikota yang berbeda-beda.
Walikota Samarinda sebelumnya H. Syaharie Jaang membangun Tugu Penghargaan Parasannya Purnakarya Nugraha. Tugu dibuat karena kebanggaan atas prestasi tertinggi dalam pembangunan kesejahteraan masyarakat oleh Kementerian Dalam Negeri.
Anggarannya untuk membangun tugu itu saja, belum terkait soal proses pemberiaan penghargaan, memakan anggaran Rp. 800 juta.
Bisa dibayangkan, rumah senilai Rp. 800 juta, dengan banyak pilar yang bagus bagus menyaingi tugu. Lalu berganti walikota, Tugu Penghargaan dihancurkan. Uang Rp 800 juta dibuang percuma. Lalu, Taman Cerdas peninggalan Walikota sebelumnya juga dirombak total diganti taman baru dengan nama baru Edu Park. Apakah ini juga menyangkut selera?
Tamannya bagus saja. Tapi ini tentang efiseinsi anggaran, dan perencanaan ke depan. Apakah nantinya setiap ganti Walikota, proyek lama dihancurkan lalu bikin proyek baru sesuai dengan selera walikota atau selera sedikit orang?
Perlu diluruskan kembali mengenai pembangunan berkelanjutan jangka panjang. Ambil dua contoh, Tugu Pesut dan Taman edu Park proyek “membuang” proyek sebelumnya. seakan mubazir. Pemborosan atau menghamburkan anggaran.
Seperti di sisi lain di Rancangan Perubahan APBD 2024, Pemkot Samarinda sukses menambah pendapatan. Dari target awal sebesar rp. 4,27 trilyun menjadi Rp. 5,05 trilyun. Pendapatan itu terutama dari Pendapatan Asli daerah (PAD) dan pendapatan trasfer.
Kembali ke soal Tugu, versi Pemkot Samarinda dsiebut sebagai Tugu Pesut, namun ada yang menyebut Tugu Cacing atau Pesut yang sedang bermetamorfosa dan sebagainya.
Kalau boleh ikutan mengusulkan nama tugu, Tugu 1,1. Artinya Tugu bernilai Rp 1,1 milyar dan sebagai “kado” tahun baru, yang “diributkan” mulai tanggal 1 bulan 1. Hehe.
Di bagian lain, saya juga mengapresiasi para pejabat Pemkot Samarinda “mendadak” prihatin, cemas (sungguhan?) dengan keberadaan pesut yang terancam punah. Mungkin setelah berkonsultasi dengan aktifis lembaga atau yayasan penyayang pesut Mahakam?
Demikian saya tutup tulisan ini. Apapun saya berharap 5 tahun ke depan, di periode ke 2 Drs H. Andi Harun kota Samarinda semakin maju. Maju pembangunannya, maju kesehteraan masyarakat. Karena H Andi Harun adalah walikota yang tegas, cerdas dan pekerja keras. Walikota rasa Gubernur. ***
BACA BAGIAN PERTAMA : Tugu Cacing? (1)
BACA JUGA :
Tugu Pesut di Simpang Lembuswana Habiskan Anggaran Rp 1,1 Milyar, Mana Pesutnya? Lebih Mirip Cacing